Margies' Blog

Sugeng Rawuh... ayo berbagi

Cari Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Jumat, 04 Februari 2011

Frasa dan Klausa

TUGAS MATA KULIAH SINTAKSIS
FRASE
A. Pengertian Frase
Frase menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif. Frase adalah satuan konstruksi yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan (Keraf, 1984:138). Frase juga didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonprediktif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1991:222). Menurut Prof. M. Ramlan, frase adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan (Ramlan, 2001:139). Artinya sebanyak apapun kata tersebut asal tidak melebihi jabatannya sebagai Subjek, predikat, objek, pelengkap, atau pun keterangan, maka masih bisa disebut frasa.
B. Contoh:
1. rumah bersalin itu
2. yang akan datang
3. sedang memasak
4. cantik sekali
5. minggu depan
6. di depan
Jika contoh itu diletakkan dalam kalimat, kedudukannya tetap pada satu jabatan saja.
1. Rumah bersalin itu(S) luas(P).
2. Beliau (S) yang akan datang (P) besok(Ket).
3. Bapak(S) sedang memasak (P) nasi goreng (O).
4. Gadis itu(S) cantik sekali(P).
5. Minggu depan (Ket) aku(S) kembali(P).
6. Bu Camat(S) berdiri(P) di depan(Ket).

Jadi, walau terdiri atas dua kata atau lebih tetap tidak melebihi batas fungsi. Pendapat lain mengatakan bahwa frase adalah satuan sintaksis terkecil yang merupakan pemadu kalimat.
Contoh:
1. Mereka(S) sering terlambat(P).
2. Mereka(S) terlambat(P).
Ket: ( _ ) frasa.
Pada kalimat pertama kata ‘mereka’ yang terdiri atas satu kata adalah frasa. Sedangkan pada kedua kata berikutnya hanya kata ‘sering’ saja yang termasuk frasa karena pada jabatan itu terdiri atas dua kata dan kata ‘sering sebagai pemadunya. Pada kalimat kedua, kedua katanya adalah frasa karena hanya terdiri atas satu kata pada tiap jabatannya.
Dari kedua pendapat tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa frasa bisa terdiri atas satu kata atau lebih selama itu tidak melampaui batas fungsi atau jabatannya yang berupa subjek, predikat, objek, pelengkap, atau pun keterangan. Jumlah frasa yang terdapat dalam sebuah kalimat bergantung pada jumlah fungsi yang terdapat pada kalimat itu juga.
C. Jenis Frase
Jenis frasa dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan persamaan distribusi dengan unsurnya (pemadunya) dan berdasarkan kategori kata yang menjadi unsur pusatnya.
1. Berdasarkan Persamaan Distribusi dengan Unsurnya (Pemadunya).
Berdasarkan persamaan distribusi dengan unsurnya (pemadunya, frasa dibagi menjadi dua, yaitu Frasa Endosentris dan Frasa Eksosentris.
1. Frasa Endosentris, kedudukan frasa ini dalam fungsi tertentu, dpat digantikan oleh unsurnya. Unsur frasa yang dapat menggantikan frasa itu dalam fungsi tertentu yang disebut unsur pusat (UP). Dengan kata lain, frasa endosentris adalah frasa yang memiliki unsur pusat.
Contoh:
Beberapa warga (S) di lapangan(P).
Kalimat tersebut tidak bisa jika hanya ‘Beberapa di lapangan’ (salah) karena kata warga adalah unsur pusat dari subjek. Jadi, ‘beberapa warga’ adalah frasa endosentris.
Frasa endosentris sendiri masih dibagi menjadi tiga.
1. Frasa Endosentris Koordinatif, yaitu frasa endosentris yang semua unsurnya adalah unsur pusat dan mengacu pada hal yang berbeda, di antara unsurnya terdapat (dapat diberi) ‘dan’ atau ‘atau’.
Contoh:
1. rumah pekarangan
2. suami istri
3. ayah ibu
4. pembinaan dan pembangunan
5. pembangunan dan pembaharuan
6. belajar atau bekerja.
2. Frasa Endosentris Atributif, yaitu frase endosentris yang di samping mempunyai unsur pusat juga mempunyai unsur yang termasuk atribut. Atribut adalah bagian frase yang bukan unsur pusat, tapi menerangkan unsur pusat untuk membentuk frasa yang bersangkutan.
Contoh:
1. pembangunan lima tahun
2. sekolah Inpres
3. buku baru
4. orang itu
5. malam ini
6. sedang belajar
7. sangat bahagia.
Kata-kata yang dicetak miring dalam frasa-frasa di atas adalah unsur pusat, sedangkan kata-kata yang tidak dicetak miring adalah atributnya.
3. Frase Endosentris Apositif, yaitu frasa endosentris yang semua unsurnya adalah unsur pusat dan mengacu pada hal yang sama. Unsur pusat yang satu sebagai aposisi bagi unsur pusat yang lain.
Contoh:
Ahmad, anak Pak Sastro, sedang belajar.
Ahmad, …….sedang belajar.
……….anak Pak Sastro sedang belajar.
Unsur ‘Ahmad’ merupakan unsur pusat, sedangkan unsur ‘anak Pak Sastro’ merupakan aposisi. Contoh lain:
1. Yogya, kota pelajar
2. Indonesia, tanah airku
3. Bapak SBY, Presiden RI
4. Mamad, temanku.
Frasa yang hanya terdiri atas satu kata tidak dapat dimasukkan ke dalalm frasa endosentris koordinatif, atributif, dan apositif, karena dasar pemilahan ketiganya adalah hubungan gramatik antara unsur yang satu dengan unsur yang lain. Jika diberi aposisi, menjadi frasa endosentris apositif. Jika diberi atribut, menjadi frasa endosentris atributif. Jika diberi unsur frasa yang kedudukannya sama, menjadi frasa endosentris koordinatif
2. Frase Eksosentris, adalah frasa yang tidak mempunyai persamaan distribusi dengan unsurnya. Frase ini tidak mempunyai unsur pusat. Jadi, frase eksosentris adalah frase yang tidak mempunyai UP.
Contoh:
Sejumlah mahasiswa di teras.
1. Berdasarkan Kategori Kata yang Menjadi Unsur Pusatnya.
Berdasarkan kategori kata yang menjadi unsur pusatnya, frasa dibagi menjadi enam.
1. Frasa nomina, frasa yang UP-nya berupa kata yang termasuk kategori nomina. UP frasa nomina itu berupa:
1.1. nomina sebenarnya
contoh:
pasir ini digunakan utnuk mengaspal jalan
1.2 pronomina
contoh:
dia itu musuh saya
1.3 nama
contoh:
Dian itu manis
1.4 kata-kata selain nomina, tetapi strukturnya berubah menjadi nomina
contoh:
dia rajin → rajin itu menguntungkan
anaknya dua ekor → dua itu sedikit
dia berlari → berlari itu menyehatkan
kata rajin pada kaliat pertam awalnya adalah frasa ajektiva, begitupula dengan dua ekor awalnya frasa numeralia, dan kata berlari yang awalnya adalah frasa verba.
2. Frasa Verba, frasa yang UP-nya berupa kata yang termasuk kategori verba. Secara morfologis, UP frasa verba biasanya ditandai adanya afiks verba. Secara sintaktis, frasa verba terdapat (dapat diberi) kata ‘sedang’ untuk verba aktif, dan kata ‘sudah’ untuk verba keadaan. Frasa verba tidak dapat diberi kata’ sangat’, dan biasanya menduduki fungsi predikat.
Contoh:
Dia berlari.
Secara morfologis, kata berlari terdapat afiks ber-, dan secara sintaktis dapat diberi kata ‘sedang’ yang menunjukkan verba aktif.
3. Frasa Ajektifa, frasa yang UP-nya berupa kata yang termasuk kategori ajektifa. UP-nya dapat diberi afiks ter- (paling), sangat, paling agak, alangkah-nya, se-nya. Frasa ajektiva biasanya menduduki fungsi predikat.
Contoh:
Rumahnya besar.
Ada pertindian kelas antara verba dan ajektifa untuk beberapa kata tertentu yang mempunyai ciri verba sekaligus memiliki ciri ajektifa. Jika hal ini yang terjadi, maka yang digunakan sebagai dasar pengelolaan adalah ciri dominan.
Contoh:
menakutkan (memiliki afiks verba, tidak bisa diberi kata ‘sedang’ atau ‘sudah’. Tetapi bisa diberi kata ‘sangat’).
4. Frasa Numeralia, frasa yang UP-nya berupa kata yang termasuk kategori numeralia. Yaitu kata-kata yang secara semantis mengatakan bilangan atau jumlah tertentu. Dalam frasa numeralia terdapat (dapat diberi) kata bantu bilangan: ekor, buah, dan lain-lain.
Contoh:
dua buah
tiga ekor
lima biji
duapuluh lima orang.
5. Frasa Preposisi, frasa yang ditandai adanya preposisi atau kata depan sebagai penanda dan diikuti kata atau kelompok kata (bukan klausa) sebagai petanda.
Contoh:
Penanda (preposisi) + Petanda (kata atau kelompok kata) di teras
ke rumah teman
dari sekolah
untuk saya

6. Frasa Konjungsi, frasa yang ditandai adanya konjungsi atau kata sambung sebagai penanda dan diikuti klausa sebagai petanda. Karena penanda klausa adalah predikat, maka petanda dalam frasa konjungsi selalu mempunyai predikat.
Contoh:
Penanda (konjungsi) + Petanda (klausa, mempunyai P)
Sejak kemarin dia terus diam(P) di situ.
Dalam buku Ilmu Bahasa Insonesia, Sintaksis, ramlan menyebut frasa tersebut sebagai frasa keterangan, karena keterangan menggunakan kata yang termasuk dalam kategori konjungsi.
D. Ciri – ciri Frase
1. Tidak membentuk kata baru
2. Dapat disisipi kata lain
3. Tidak melebihi batas fungsi unsur klausa.
KLAUSA
A. Pengertian klausa
Klausa ialah satuan gramatikal, berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek (S) dan predikat (P), dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana dkk, 1980:208). Klausa ialah unsur kalimat, karena sebagian besar kalimat terdiri dari dua unsur klausa (Rusmaji, 113). Unsur inti klausa adalah S dan P. Namun demikian, S juga sering juga dibuangkan, misalnya dalam kalimat luas sebagai akibat dari penggabungan klausa, dan kalimat jawaban (Ramlan, 1981:62.
Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa klausa adalah satuan gramatik yang terdiri atas predikat, baik diikuti oleh subjek, objek, pelengkap, keterangan atau tidak dan merupakan bagian dari kalimat. Penanda klausa adalah P, tetapi yang menjadi klausa bukan hanya P, jika mempunyai S, klausa terdiri atas S dan P. Jika mempunyai S, klausa terdiri dari atas S, P, dan O. jika tidak memiliki O dan Ket, klausa terdiri atas P, O, dan Ket. Demikian seterusnya.Penanda klausa adalah P, tetapi yang dianggap sebagai unsur inti klausa adalah S dan P.
Penanda klausa adalah P, tetapi dalam realisasinya P itu bias juga tidak muncul misalnya dalam kalimat jawaban atau dalam bahasa Indonesia lisan tidak resmi. Contoh :
Pertanyaan : kamu memanggil siapa?
Jawaban : teman satu kampus  S dan P-nya dihilangkan.
Contoh pada bahasa tidak resmi : saya telat!  P-nya dihilangkan.
Klausa merupakan bagian dari kalimat. Oleh karena itu, klausa bukan kalimat. Klausa belum mempunyai intonasi lengkap. Sementara itu kalimat sudah mempunyai intonasi lengkap yang ditandai dengan adanya kesenyapan awal dan kesenyapan akhir yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut sudah selesai. Klausa sudah pasti mempunyai P, sedangkan kalimat belum tentu mempunyai P.
B. CONTOH KLAUSA
1. ayam saya hitam
2. rumah itu besar
3. rumah besar itu putih
4. rumah putih itu besar
5. rumah besar itu di atas puncak gunung

C. JENIS – JENIS KLAUSA
Ada tiga dasar yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan klausa. Ketiga dasar itu adalah (1) Klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya (BSI), (2) Klasifikasi klausa berdasarkan ada tidaknya unsur negasi yang menegatifkan P (BUN), dan (3) Klasifikasi klausa berdasarkan kategori frasa yang menduduki fungsi P (BKF). Berikut hasil klasifikasinya :
1. Klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya.
Klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya mengacu pada hadir tidaknya unsur inti klausa, yaitu S dan P. Dengan demikian, unsur ini klausa yang bisa tidak hadir adalah S, sedangkan P sebagai unsur inti klausa selalu hadir. Atas dasar itu, maka hasil klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya, berikut klasifikasinya :
1. Klausa Lengkap
Klausa lengkap ialah klausa yang semua unsur intinya hadir.
Klausa ini diklasifikasikan lagi berdasarkan urutan S dan P menjadi :
1.1 Klausa versi, yaitu klausa yang S-nya mendahului P. Contoh :
Kondisinya sudah baik.
Rumah itu sangat besar.
Mobil itu masih baru.
1.2 Klausa inversi, yaitu klausa yang P-nya mendahului S. Contoh :
Sudah baik kondisinya.
Sangat besar rumah itu.
Masih baru mobil itu.
2. Klausa Tidak Lengkap
Klausa tidak lengkap yaitu klausa yang tidak semua unsur intinya hadir. Biasanya dalam klausa ini yang hadir hanya S saja atau P saja. Sedangkan unsur inti yang lain dihilangkan.
2. Klasifikasi klausa berdasarkan ada tidaknya unsur negasi yang secara gramatik menegatifkan P.
Unsur negasi yang dimaksud adalah tidak, tak, bukan, belum, dan jangan. Klasifikasi klausa berdasarkan ada tidaknya unsur negasi yang secara gramatik menegatifkan P menghasilkan :
1. Klausa Positif
Klausa poisitif ialah klausa yang ditandai tidak adanya unsur negasi yang menegatifkan P. Contoh :
Afgan seorang penyanyi terkenal.
Mahasiswa itu mengerjakan tugas.
Mereka pergi ke kampus.
2. Klausa Negatif
Klausa negatif ialah klausa yang ditandai adanya unsur negasi yang menegaskan P. Contoh :
Afgan bukan seorang penyanyi terkenal.
Mahasiswa itu belum mengerjakan tugas.
Mereka tidak pergi ke kampus.
Kata negasi yang terletak di depan P secara gramatik menegatifkan P, tetapi secara sematik belum tentu menegatifkan P. Dalam klausa Dia tidak tidur, misalnya, memang secara gramatik dan secara semantik menegatifkan P. Tetapi, dalam klausa Dia tidak mengambil pisau, kata negasi itu secara sematik bisa menegatifkan P dan bisa menegatifkan O. Kalau yang dimaksudkan 'Dia tidak mengambil sesuatu apapun', maka kata negasi itu menegatifkan O. Misalnya dalam klausa Dia tidak mengambil pisau, melainkan sendok.

3. Klasifikasi klausa berdasarkan kategori frasa yang menduduki fungsi P.
Berdasarkan kategori frasa yang menduduki fungsi P, klausa dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Klausa Nomina
Klausa nomina ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategori frasa nomina. Contoh :
Dia seorang sukarelawan.
Mereka bukan sopir angkot.
Nenek saya penari.
2. Klausa Verba
Klausa verba ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategori frasa verba. Contoh :
Dia membantu para korban banjir.
Pemuda itu menolong nenek tua.
3. Klausa Adjektiva
Klausa adjektiva ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategori frasa adjektiva. Contoh :
Adiknya sangat gemuk.
Hotel itu sudah tua.
Gedung itu sangat tinggi.
4. Klausa Numeralia
Klausa numeralia ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategori numeralia. Contoh :
Anaknya lima ekor.
Mahasiswanya sembilan orang.
Temannya dua puluh orang.
5. Klausa Preposisiona
Klausa preposisiona ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategori frasa preposisiona. Contoh :
Sepatu itu di bawah meja.
Baju saya di dalam lemari.
Orang tuanya di Jakarta.
6. Klausa Pronomia
Klausa pronomial ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategoi ponomial. Contoh :
Hakim memutuskan bahwa dialah yang bersalah.
Sudah diputuskan bahwa ketuanya kamu dan wakilnya saya.
4. Klasifikasi klausa berdasarkan potensinya untuk menjadi kalimat
Klasifikasi klausa berdasarkan potensinya untuk menjadi kalimat dapat dibedakan atas :
1. Klausa Bebas
Klausa bebas ialah klausa yang memiliki potensi untuk menjadi kalimat mayor. Jadi, klausa bebas memiliki unsur yang berfungsi sebagai subyek dan yang berfungsi sebagai predikat dalam klausa tersebut. Klausa bebas adalah sebuah kalimat yang merupakan bagian dari kalimat yang lebih besar. Dengan perkataan lain, klausa bebas dapat dilepaskan dari rangkaian yang lebih besar itu, sehingga kembali kepada wujudnya semula, yaitu kalimat. Contoh :
Anak itu badannya panas, tetapi kakinya sangat dingin.
Dosen kita itu rumahnya di jalan Ambarawa.
Semua orang mengatakan bahwa dialah yang bersalah.
2. Klausa terikat
Klausa terikat ialah klausa yang tidak memiliki potensi untuk menjadi kalimat mayor, hanya berpotensi untuk menjadi kalimat minor. Kalimat minor adalah konsep yang merangkum : pangilan, salam, judul, motto, pepatah, dan kalimat telegram. Contoh :
Semua murid sudah pulang kecuali yang dihukum.
Semua tersangka diinterograsi, kecuali dia.
Arie tidak menerima nasihat dari siapa pun selain dari orang tuanya.
5. Klasifikasi klausa berdasarkan kriteria tatarannya dalam kalimat.
Oscar Rusmaji (116) berpendapat mengenai beberapa jenis klausa. Menurutnya klausa juga dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria tatarannya dalam kalimat.
Berdasarkan tatarannya dalam kalimat, klausa dapat dibedakan atas :
1. Klausa Atasan
Klausa atasan ialah klausa yang tidak menduduki f ungsi sintaksis dari klausa yang lain. Contoh :
Ketika paman datang, kami sedang belajar.
Meskipun sedikit, kami tahu tentang hal itu.
2. Klausa Bawahan
Klausa bawahan ialah klausa yang menduduki fungsi sintaksis atau menjadi unsur dari klausa yang lain. Contoh :
Dia mengira bahwa hari ini akan hujan.
Jika tidak ada rotan, akarpun jadi.
D. CIRI –CIRI KLAUSA
Ciri-ciri klausa adalah:
1. mengisi slot dalam tataran kalimat sehingga dapat menduduki fungsi tertentu;
2. sekurang-kurangnya terdiri atas satu predikat;
3. mungkin mempunyai gatra seperti predikat (klausa yang predikatnya nominal). Misal: Dia guru.

Sang Dewi

Margiati Setiawan

Gema takbir, tahlil dan tahmid mulai berkumandang, bersahut-sahutan dari berbagai menara masjid yang kulewati. Sungguh membuatku bergetar menahan keharuan yang mengharu biru. Aku dan rombongan menepi, istirahat dan berbuka di daerah Sukamandi. Lirih kuucap puji syukur Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah, Engkau izinkan aku menuntaskan kewajiban suci ini sebulan penuh.

“Minumnya, Wan” Yudi menyodorkan segelas minuman mineral padaku.

“Trims”, kutenggak tanpa sisa air putih di tanganku setelah sebelumnya kulantunkan doa berbuka.

“Nih, bikang kesukaanmu. Sikat semua boleh, Wan!” Tio melemparkan bungkusan putih dari dalam mobil. Entang mengapa aku kurang bergairah berbuka malam ini. Mungkin karena pikiranku sudah melayang jauh ke kampung halaman.

“Lagi nggak nafsu, nih.” Kuambil separo bikang itu, selebihnya kukembalikan pada Tio dan Agus yang sedang asyik berbuka di dalam mobil. “Aku keburu pingin sampai rumah, Men. Kangen gudeg dan tahu bacemnya Emak!”

Kudengar tiga kawanku tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku.

“Wan, wan … dan tujuh tahun di Bogor, Cuma tahu bacem aja yang ada di otak kamu!’Yudi meledekku.

“Irwan tuh bukan cuman kangen Ibunya, dia tuh keburu gak sabar pingin jumpa bininya, ya nggak?” Agus menyela. Ketiganya tertawa bareng.Aku Cuma tersenyum.

“Maklum dan hampir dua bulan gak ketemu. Eh, gimana ya jagoan kecilmu?” Yudi merangkul pundakku.

Aku tadi pagi sempat telepon Dewi. Mereka baik-baik saja”, jawabku seraya mengibaskan celana jeansku yang kotor oleh remah-remah rotiku. “Puas-puasin bukanya ya… Aku mau sholat maghrib dulu”, aku berjalan menuju mushola kecil di dekat rumah makan di depan kami.

Semburat merah jingga semakin samar dan akhirnya menghilang di ufuk barat, digantikan warna abu-abu kehitam-hitaman menandakan siang telah berlalu dan kini malam menjelang. Gema takbir pertanda bulan Syawal telah tiba terus bergema, begitu syahdu dan Agung terdengar di telingaku. Mudik lembaran. Rutinitas tahunan yang senantiasa kutunggu dan bahkan ditunggu-tunggu oleh ribuan atau puluhan ribu umat muslim perantauan seperti aku ini. Mudik lembaran tahun ini terasa lain bagiku. Bila enam kali mudik sebelumnya aku adalah seorang perjaka yang bebas dan tak terikat oleh waktu, maka mudik kali ini mungkin paling mendebarkan bagiku. Seorang jagoan kecil berumur empat puluh hari telah menunggu-nunggu aku, ayahnya. Seorang jagoan buah hatiku dengan Dewi, istriku tercinta yang kunikahi sepuluh bulan yang lalu. Dewi adalah seorang wanita keibuan yang berhati “Dewi”. Wajahnya tidak terlalu cantik, tetapi lumayan manis menurutku.

Seorang wanita yang rela menungguiku hingga larut malam karena tuntutan pekerjaanku sebagai seorang karyawan lapangan si sebuah perusahaan mobil. Wajahnya mungil, berkaca mata minus dan selalu berjilbab ke manapun dia pergi. Pribadinya sederhana dan nrimo. Sifat terakhirnya itulah yang menuntunku untuk menjatuhkan pilihanku padanya hingga kusingkirkan jauh-jauh nama Indah, Evi, dan sederet gadis cantik lainnya yang pernah singgah di hatiku. Aku tersenyum sendiri. Mungkin ingat petualanganku. Rasa malu pada Tuhan membuatku semakin berusaha mendekat pada-Nya. Apalagi kehadiran Dewi dalam hidupku juga telah banyak mengubah hidupku.

Entah mengapa perjalanan mudikku kali ini terasa amat lama. Hati dan pikiranku sudah sampai di Bantul, tempat istri dan jagoan kecilku menunggu. Starlet yang kutumpangi berjalan merayap di antara ratusan mobil dan bus yang berderet panjang membentuk konvoi. Laju kendaraan tersendat-sendat, walaupun puncak arus mudik sebenarnya telah terjadi kemarin. Yudi yang berada di belakang kemudi menyilangkan kedua tangannya di belakang kepala. Tubuhnya dihempaskan ke sandaran jok tempat dia duduk.

“Macet lagi nih, Wan. Bisa-bisa kita sampai Yogya jam satu siang, nih!”

“Sabar aja, Yud. Habis mau gimana lagi!” seloroh Agus dari belakang.

“Yang penting ketemu gudeg dan tahu bacem lagi!” Seloroh Agus dari belakang. Kami semua tertawa. Kami berempat adalah teman sekantor. Diantara mereka, Yudilah yang paling akrab denganku. Dia sahabat kecilku di Magelang. Usia kami sama , dua puluh enam tahun. Bedanya, dia sudah menikah empat t ahun yang lalu tetapi belum dikarunia momongan. Sedangkan aku alhamdulillah Allah segera mengaruniakan jagoan kecil padaku. Sebulan setelah kumenikah, Dewi hamil.

“Matikan AC-nya, Yud.Aku pingin menghirup udara malam, kangen aroma sawah, nih.”

“Okey, boss.Ingat ngobor kodok kita ya, Wan?”

“He he e… kamu tahu saja!” aku tertawa seraya memukulkan tinju ke lengan Yudi. Masa kecilku memang indah dan penuh kenangan manis. Aku san Yudi sering sekali tertawa terkekeh bila mengenangnya.

Kupencet tombol kaca jendela hingga terbuka separo lebih. Semilir angin malam segera menghempas wajahku. Dingin.Hem … aroma padi, deretan pohon akasia yang memagari jalan tampak kokoh bagai pagar raksasa. Mobil berjalan kembali. Kaca kubiarkan terbuka. Kulayangkan pandangan mataku ke hamparan sawah nan luas. Padi siap panen terhampar luas bagai permadani Pakistan ditimpali sinar lampu neon di sepanjang jalan. Di kejauhan tampak berkedip-kedip lampu-lampu neon perkampungan. Aroma padi membuatku semakin ingin segera sampai rumah.Rinduku pada Ibu, Bapak dan saudara-saudaraku rasanya tak tertahankan. Mungkin saat ini rumah orang tuaku di Magelang sudah riuh rendah oleh celoteh keponakan-keponakanku, anak-anak dari kakak-kakakku yang sudah duluan sampai dirumah. Kalau saja tidak macet, mungkin aku sudah sampai Temanggung jam segini. Aku menggerutu dalam hati.Jam di pergelanganku sudah menunjuk angka dua lebih dua puluh menit.Pagi hampir menjelang. Sementara laju mobilku masih tetap dengan irama semula, merayap. Kami masih di Cirebon. Kulihat Agus dan Tio pulas di jok belakang. Sedangkan aku, sedikitpun tak bisa memicingkan mata. Entah mengapa aku tiba-tiba jadi gelisah. Sebentar-sebentar kulirik jam di pergelanganku. Mataku kembali kulayangkan ke luar. Rupa-rupanya kami sampai di pasar Cirebon. Deretan toko semua tertutup rapat. Tak ada aktivitas, kecuali beberapa tukang ojek yang bergerombol di beberapa sudut jalan, mengais rejeki dari pemudik yang akan menumpang motor ojeknya. Sedang apakah Dewi saat ini? Mungkinkah dia sudah bangun jam segini? Apakah dia lagi menyiapkan opor dan ketupat lembaran? Atau mungkin malah lagi berjuang mendiamkan tangis si kecil yang tiba-tiba bangun malam begini. Kuraih telepon genggamku di saku bajuku. Kupencet nomor nomor Dewi, tapi …uh! Mail box. Jam lima pagi kemarin sehabis sholat subuh aku sempat menelepon Dewi dari Bogor untuk mengabarkan kepulanganku.

“Mas Irwan jadi berangkat nanti sore?” suara Dewi terdengar manja. Kubayangkan dia sangat bahagia sewaktu menanyakan kepulanganku.

“Insya Allah, Wik. Aku nebeng mobil Tio. Kami berempat, Yudi yang akan pegang kemudi, gantian sama Agus apa aku nanti. Ntar berangkat jam empat sore. Tapi aku ke Magelang dulu, sungkem Ibu dan Bapak dulu. Rencananya, sorenya aku langsung ke Bantul.”

“Sebaiknya begitu, Mas. Yang penting Mas Irwan sungkem Ibu Bapak dulu di Magelang. Dewi menunggu di Bantul. Anu, Mas … “ Dewi menghentikan ucapannya.

“Ada apa, Wik? Mau pesan sesuatu?”

“Kalau Mas nggak keberatan tolong kereta bayi yang sudah kita beli sekalian dibawa ya. Aku agak capek gendhong Ardan akhir-akhir ini. Maksudku biar bisa gantian, Mas.” Suara Dewi terdengar lirih sehingga memaksaku menempelkan ponsel lekat-lekat di telingaku.

“Baiklah, Wik. Pesan apa lagi?” aku menggoda Dewi.

Senyap. Dewi tak segera menjawab pertanyaanku. Beberapa detik kemudian aku baru mendengar kembali suaranya yang lembut.

“Mas, ada sesuatu yang sudah kupersiapkan di almari kita, Bungkusan coklat, di rak paling atas. Itu adalah beberapa kerudung Dewi yang masih baru, juga beberapa potong baju muslim yang masih baru punya Dewi. Sempatkan untuk mengantar bungkusan itu ke Yayasan Yatim Piatu Permata hati ya,Mas. Pakaian dan kerudung-kerudung itu lebih mereka butuhkan. Mas bersedia?”suara dari seberang terdengar memohon. Aku tidak segera menjawab. Ada keharuan sekaligus kebanggaan menyelinap di dadaku. Istriku yang sholihah, dan dermawan.

“Gimana, Mas?’ suara pertanyaan Dewi mengagetkanku.

“Tentu saja, Wik.Nanti mas sempatkan untuk kesana.” Suaraku bergetar menahan haru.”Bagaimana perkembangan Ardan,Wik? Apa makin mirip aku?” tanyaku kembali.

“Iya. Bahkan seperti foto kopi Mas Irwan. Berat badannya sudah bertambah dua ons lagi. Kami snagat merindukan Mas Irwan”,kembali nada suara Dewi terdengar lirih.

“Aku juga tak sabar ingin segera bertemu kalian, tunggu aku ya…” sekali lagi suasana hening.Dewi tidak segera menjawabnya. “Hello, .. Dewi? Aku memastikan bahwa Dewi masih mendengarkan aku.

“Eh, iya,mas. Tentu saja. Kami menunggu Mas Irwan. Berhati-hatilah di perjalanan. Tidak usah terburu-buru. Semoga Allah memberi kekuatan pada Mas.”

“Baiklah,Wik. Sudah dulu ya. Ciumkan Ardhan untukku. Assalamualaikum ,” aku menutup percakapanku pagi dengan Dewi pagi itu. Kata-kata Dewi kemarin pagi masih terngiang jelas di telingaku. Sampai jam empat sore tadi aku masih sempat berkirim sms padanya. Kupandangi gambar Dewi di layar telepon genggamku. Berkerudung putih, berbaju hitam bergaris putih vertikal. Tampak cantik dan anggun. Wanita yang kuat dan tabah. Betapa tidak, cobaan emi cobaan melanda kehidupan kami. Satu setengah tahun yang lalu, sewaktu orang tuaku melamar Dewi untukku, rumah orang tuanya di Bantul masih utuh. Dua tahun kemudian ketika kami datang kembali untuk memusyawarahkan hari pernikahan, rumah joglo itu telah berubah menjadi puing-puing yang nyaris rata dengan tanah, tersipu gempa tektonik yang melanda wilayah Yogya dan sekitarnya beberapa bulan sebelumnya. Sungguh memilukan. Akhirnya tepat pada tanggal dua puluh enam Desember, sepuluh bulan yang lalu resmi kunikahi Dewi. Seminggu setelah menikah, Dewi kuboyong ke Bogor. Kami menempati sebuah rumah kontrakan di daerah Warung Jambu, dekat dengan perusahaan tempatku bekerja. Terpaksa aku menyuruhnya berhenti bekerja di sebuah kantor swasta di Jakarta, karena jarak yang cukup jauh. Aku bahagia dan menikmati kehidupan baruku. Aku juga merasakan alangkah besar dan tulisnya cinta Dewi padaku. Pendek kata, Dewi telah mampu menorehkan warna yang indah dalam hidupku. Dewi hamil. Akan tetapi, semenjak usia kandungannya menginjak tujuh bulan dia harus keluar masuk rumah sakit untuk opname sebanyak lima kali. Tabunganku banyak terkuras untuk biaya rumah sakit. Aku sangat mencemaskan nasib anak dan istriku. Tetapi semua kupasrahkan pada Allah. Siang malam tak berhenti aku berdoa untuk keselamatan mereka. Alhamdulillah Tuhan mengabulkan doaku hingga akhirnya Dewi melahirkan jagoan kecilku di Bantul, di rumah kedua orng tuanya.

Dering telepon genggam di tanganku mengagetkan lamunanku. Kubuka sebuah pesan singkat, yang ternyata dari mbak Widi, kakak perempuanku.

KAMU DAH NYAMPAI MANA, WAN? SEBAIKNYA KAMU GAK USAH MAMPIR MAGELANGLANGSUNG AJA KE BANTUL. ISTRIMU AGAK TIDAK ENAK BADAN.

Begegas kupencet tombol hijau untuk menghubungi mabk Widi. Tapi yang terdengar bunyi tulalit dn suara operator yang minta meninggalkan pesan. Dengan gugup kupencet tombol ponsel untuk menghubungi Dewi, tapi sialan! Masih juga Mail box. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Berbagai pertanyaan mengusikku. Parahkan sakit Dewi. Apa dia harus opname lagi? Ya tuhan, di hari lembaran begini, apa ada dokter buka?.

Semoga dia hanya masuk angin biasa. Aku mencoba menenangkan diri. Kulihat kembali jam tanganku. Pukul empat pagi. Hampir subuh.

“SMS dari siapa, Wan?” Yudi mengankap kegelisahanku.

“Mbak Widi. Katanya Dewi agak tidak enak badan, jadi aku langsung ke Bantul saja”.

“Tak masalah. Kami antar kamu sampai rumah istrimu, Wan.” Terdengar serak suara Tio dari jok belakang. Rupanya dia mendengar percakapan kami.

“Sudah kau hubungi ponselistrimu,Wan?” Yudi kembali bertanya.

“Belum sejak malam tadi HPnya dimatikan.

Mudikku kali ini benar-benar meleset dari rencana semula. Itu semua gara-gara jalanan macet. Sholat Idul Fitri kami laksanakan di lapangan Temanggung. Ada kemasygulan yang menyesak di dada sewaktu kulantunkan takbir, tahlil, dan tahmid di pagi yang fitri itu. Bayangan wajah Bapak.Ibu, Dewi dan Ardan jagoan kecilku silih berganti membayang di pelupuk mataku. Dua butir cairan bening menetes di pipiku sewaktu kulantunkan doa untuk keselamatan mereka.

Usai sholat Ied kami bergegas menuju ke mobil kembali. Ribuan muslim yang memenuhi lapangan tadi bergerak meninggalkan lapangan menuju rumahnya masing-masing. Kulihat Yudi sedang menerima telepon dari seseorang. Aku tidak terlalu mendengar percakapannya karena aku segera masuk dan duduk di jok depan. Kulihat wajah Yudi yang memucat. Kupikir dia kelelahan pagi ini. Tiba-tiba Yudi memandangku lekat-lekat. Kulihat ada air mata di pelupuk matanya. Aku semakin tak mengerti ketika tiba-tiba Yudi mengucapkan istighfar dan memelukku erat-erat, sangat erat.

“Kamu harus kuat dan sabar ya, Wan” tersendat suara Yudi di pundakku. Pelukannya semakin erat di tubuhku. Tio dan Agus pun hanya bisa diam sambil memegang erat tanganku. Hatiku semakin tak menentu karena Yudi tidak mengucapkan apa-apa lagi. Dia melarikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Meliuk-liuk di jalanan Magelang menuju Yogya nyaris tanpa kata-kata. Aku semakin yakin telah terjadi sesuatu yang cukup serius pada keluargaku.

Ada desiran-desiran aneh sewaktu kami memasuki kota Bantul. Yudi memperlambat laju mobilnya ketika kami sudah masuk perkampungan tempat istriku tinggal. Sesampai di mulut gang aku terpana sewaktumelihat sebuah bendera kecil warna putih terpasang. Kegundahan hatiku tak terbendung lagi. Puluhan atau malah mungkin ratusan orang duduk-duduk di kursi-kursi plastik yang terpasang rapi di teras dan halaman rumah mertuaku, di bawah naungan tenda plastik warna coklat.

Persendian tubuhku lemas seketika. Aku sudah tahu apa yang terjadi walaupun aku tidak mempercayainya. Yudi bergegas membukakan pintu mobil untukku. Semua orang berdiri sewaktu aku keluar dari mobil. Serta merta mas Galih, kakak iparku dan mas Ilham kakak kandungku menyambut dan memelukku dengan erat. Tangis kami meledak.

“Dewi telah pergi jam satu malam tadi. Ikhlaskan dia, dik Irwan”, lirih suara mas Galih di sela isak tangis kami. Lemaslah seluruh persendian tubuhku. Kedua kaki kokohku seolah tak mampu lagi menyangga tubuhku. Pandangan mataku mengabur. Antara sadar dan tidak mulutku berulang-ulang mengucap istighfar. Namun tiba-tiba semua di depanku menjadi gumpalan-gumpalan abu-abu yang terus menghitam dan gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa lagi. Hitam, pekat.