Margies' Blog

Sugeng Rawuh... ayo berbagi

Cari Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Jumat, 12 Agustus 2011

Perkenalkan... ini aku, belahan jiwa dan buah hatiku


Pagi sangat cerah, ketika Allah mengizinkan kami jalan - jalan lengkap berenam. Sebuah kesempatan yang agak sulit kami dapat, mengingat dua buah hatiku yang belajar di luar kota.
Terima kasih tak terhingga pada Nya, yang telah mengajari kami cara mensyukuri nikmat ini.

Jumat, 22 Juli 2011

SILUET MASA


Oleh : Margie Setiawan

Malam merangkak naik. Di luar, bulan sabit mempercantik langit dengan sinar putihnya.Ros masih belum jua bisa memejamkan mata. Telah dibolak – baliknya majalah wanita di tangan agar kantuk datang, tapi hingga dentang jam dinding ruang tengahnya berbunyi dua belas kali, mata itu tetap segar bugar tak ada tanda – tanda kantuk menyerang.Diraihnya telepon genggam di sisi pembaringan. Senyum penuh kebahagiaan tersungging di bibir tipisnya yang masih ranum di usianya yang telah berkepala tiga itu.
Kaukah Rosi Wardani, alumnus SMA Bantul 1 angkatan 92?
Aha tentu saja aku tak bisa melupakanmu…kau tahu itu
Kau salah! Sampai kini akutak bisa melupakanmu , Ros. Kucari pengganti dirimu, tapi tak ada satu pun yang bisa sepertimu
Senang sekali, Ros. Kaulah wanita terindah yang telah mengisi hatiku, dari dulu hingga kini!

Beberapa pesan masuk di hpnya dibaca berulang – ulang. Sms – sms itu dikirim oleh orang yang sama, Prasetyo. Lelaki pujaan hatinya di SMA dulu yang telah menghilang hampir dua dasawarsa lamanya. Begitu cintanya Ros pada lelaki itu hingga sampai kini dia belum bisa menerima kehadiran siapa pun. Usianya telah genap 34 tahun, dan dia masih lajang!Namun, rupanya peristiwa sangat mengejutkan sekaligus mendebarkan dua hari lalu telah mengubah duka mendalam gadis bernama Rosi Wardani itu.Tak sengaja dia bertemu teman lama di sebuah pesta pernikahan saudaranya di Bandung. Omong punya omong ternyata Asti, teman SMA nya itu pernah berjumpa Pras dan mereka sempat bertukar nomor hp.Jadilah Sabtu sore itu hari yang sangat bersejarah bagi Ros, karena dia telah menemukan kembali separuh hatinya yang hilang begitu jauh.
Tak seperti biasanya Ros berangkat ke kantor sangat pagi hari itu. Sepertinya dia tak ingin keduluan siapa pun di kantornya. Langkah kakinya ringan dan senyum tipis senantiasa tersungging di bibirnya. Tampak semangat sekali dia pagi itu. Jam tangan di pergelangannya diliriknya,Wao, rekor nih aku. Belum juga jam setengah delapan aku dah nyampai kantor, gumamnya dalam hati.baru saja dia menginjakkan kakinya ke lantai satu kantornya, sebuah dering tanda pesan masuk berbunyi dari hpnya.cekatan diraihnya hp di tas merahnya yang serasi dengan warna sepatunya pagi itu.satu pesan belum terbaca, Pras.Deg!tiba – tiba detak jantungnya berirama lebih cepat dari biasanya. Ritme tak beraturan itu memaksa Ros menghela nafas panjang untuk mengatur kegugupan hatinya yang melonjak setinggi plafon kantornya.
Selamat pagi, Ros..semoga hari ini indah.
Entah mengapa Ros malah terdiam tak mampu segera mereplay sms yang dikirimkan pras pagi itu. Tangannya bergetar, jantungnya semakin berdetak tak beraturan.Dia berusaha menenangkan hatinya yang bergejolak hebat. Sms yang dikirim Pras singkat, tapi efeknya ternyata tak sesingkat bunyi pesan itu.Benarkah ini Pras yang selama ini aku impikan? Apakah aku tidak sedang bermimpi?Ros kembali bergumam dalam hati sambil terus berusaha menekan gejolak hatinya.
Pagi juga, Pras.terima kasih kau masih ingat aku.Akhirnya ros membalas pesan itu setelah kurang lebih lima menit hanya terpaku memandangi hpnya.Dua menit kemudian sebuah pesan masuk lagi.
Kau pasti masih tetap cantik, secantik mawar yang kukirimkan dahulu, May!Gila! dia bahkan masih suka memanggilnya dengan panggilan kesayangannya dulu, May!Ah…Pras!Rosi sangat tersanjung dengan panggilan mesra itu.
Kenapa kau panggil aku dengan nama itu, Pras? Kau jangan membangkitkan kenangan lama kita. Bukankah keadaan kita sudah berbeda? Ros membalas pesan itu dengan harap – harap cemas.Dia tahu sekarang sudah terlambat untuk mengulang kembali kenangan indah itu karena Ros sangat yakin, pras sudah menikah.
Maksudmu?
Maksudku? Tentu saja kau tak boleh begitu. Kau telah menikah. Aku tak akan ganggu kebahagiaan keluargamu.klik, ok.pesan terkirim.
Hahaha…kau sok tahu, ros. Siapa yang bilang aku dah menikah?
Ros menelan ludah. Bibirnya kelu. Tangannya kembali bergetar memegang hp. Apa? Benarkah Pras belum menikah? Benarkah dia sepertiku juga, menunnggu keajaiban akan datangnya masa di mana Sang pangeran bertemu Cinderella?Ya Tuhan…Ros semakin tak menentu. Beribu perasaan berkecamuk di dadanya. Senang, takut, cemas, berdebar,semuanya campur aduk.Tapi kebahagiaan mungkin perasaan paling dominan pagi itu.
Kau masih suka ngegombal seperti delapan belas tahun yang lalu, Pras? Akhirnya dibalas juga sms pras setelah hatinya sedikit tenang.
Oke, May.Aku nanti telepon kamu jam dua belas, ya.Sekarang aku tak mau ganggu. Kau pasti segera sibuk dengan pekerjaanmu. Dan aku juga sebentar lagi ada meeting dengan anak buahku. Met kerja ,may.Sampai nanti,Ya..
Ros masih terduduk lemas di kursi kerjanya. Tak menyangka Pras akan menghubunginya lagi dengan pesan mesra seperti itu.
“Pagi, Mbak..Duuh, tumben Mbak Ros dah nyampai kantor nih.Mimpi apa semalam kok semangat banget ?” sebuah sapaan renyah dari Fifi teman sekantornya yang cerewet mengagetkannya.
“Eh, pagi juga ,Centil.Mang gak boleh jadi karyawan rajin? Mbak harus selesaikan banyak pee r hari ini,jadi…kau mesti bantu aku beresin proposal yang belum kelar,okey?”Ros menjawab sapaan Fifi sambil tertawa lebar.
“Oke Boss. Tapi, ada syaratnya ,mbak..”Fifi mengerling lucu kea rah Rosi yang menjadi atasannya di kantor itu.
“Apaan sih?” Rosi pura – pura serius.
“Cie,beum – belum dah keluarin jurus galaknya nih bos aku!” Fifi mendekat ke arah Ros “SSSt..besok Fifi mau ambil cuti sehariiiii saja. Boleh ya, Mbak?”
“Gila kali kau, Fi! Besok Mbak ada janjian dengan client di Saga restaurant.Tentu saja aku butuh kamu siapin proposal dan tetek bengeknya,Fi,” Rosi menceramahi anak buahnya yang sedang merayunya.
“Yaah…gagal lagi dong rencana aku!,” Fifi yang diceramahi tak berkutik. Dia tahu, kalau Bossnya bilang tidak, berarti memang tak akan bisa ditembus.”Okey deh, tapi habis itu aku cuti ya, Mbak,” fifi merayu seraya mengerling pada Rosi.
“Sip!” jawab Rosi sambil membuka komputernya.Tak dihiraukannya Fifi yang nyengir sambil ngeloyor ke meja kerjanya.
Seharian itu Rosi bekerja dengan teramat semangat. Dua pe- er yang tertunda selesai kurang dari empat jam. Persiapan bertemu klien penting besok pagi juga sudah beres.jam 11.45.Haah…tak terasa sudah siang rupanya. Rosi sangat menanti jam 12 segera tiba. Pras akan meneleponnya?Aduh.tiba- tiba kegugupan menyerangnya.Seperti apakah gerangan suaranya kini? Tidakkah aku grogi bila bicara dengannya nanti? It ’s make me very nervous. Hati Ros terus bergejolak.
“Beautifull girl…wherefer you are.i knew when I saw you, you had opened the door, I knew when that I loved again..after along.. long while…nada dering beautifull girlnya Cristian Bautista tiba – tiba berdering, menambah kegugupan Rossi.Ah, tepat sekali dia. Jam 12 tepat lebih dua detik.Detik berikutnya dia telah memencet tombol hijau dengan bergetar.
“Assalaamualaikum…”walau telah berusaha menenangkan diri tetap saja tak dapat dibohongi suara Rossi bergetar menahan degupan di dada yang belum bisa dikuasainya sejak tadi.
“Waalaikumussalam, May….” Sebuah suara tenor bass yang sangat dia hafal sejak delapanbelas tahun yang lalu.Suara pria yang pernah membuatnya hampir patah hati, pria yang pernah bahkan selalu mengisi hari – harinya dari dulu hingga kini. Walau tujuh tahun belakangan ini mungkin sudah hampir dia lupakan , Rossi telah menganggapnya hilang, terbang dibawa angin.
Sejenak suara hening, dari seberang pun tak terdengar Prasetyo mengucapkan apa pun. Mungkin dia juga sedang menata hatinya yang bergejolak.
“Kau, masih hafal suaraku Ross?” suara Pras sedikit parau. Dia tampak gugup.
“Delapan belas tahun, Pras, Tapi sampai detik ini pun aku tak bisa melupakan suaramu,” Rossi menjawab dengan gugup. Tak terasa cairan bening menetes di kedua pipinya.
“Maafkan aku Ross,tapi sekali lagi sebagai yang pernah kukatakan dulu, bukan kehendakku meninggalkanmu.Sudahlah, Ross. Kini Tuhan telah mempertemukan kembali kita”. Suara dari seberang terasa berat penuh penyesalan. Rossi menghela nafas panjang. Rasa senang, benci, penuh penyesalan , dan kegugupan campur baur jadi satu.
“Ross…kau baik – baik saja?” suara Prasetyo dari seberang mencoba memecah kekakuan.” Jangan menangis ,ya.Ah, aku jadi sangat ingin berjumpa kamu sekarang. Kau pasti tetap cantik dan akan selalu cantik”, Prasetyo terus berbicara, sementara tanpa sepengetahuannnya Rossi sibuk menenangkan hati dan desiran di dada begitu mendengar pujian Pras.
“Tentu saja, aku baik – baik saja, Pras”, pelan suara Rossi menjawab pertanyaan Pras. Dia mulai mampu menguasai diri walau belum sepenuhhnya, masih sebagai melayang di planet Mars rupanya.
“Aha. Bidadariku. Kau sekarang pasti dah sukses, ya. Selamat deh. Ikut bahagia.Kerja di mana ,May?”
“ Kenapa juga masih kau panggil aku dengan panggilan gila itu, Pras?”
“Wao, kau tak suka?Aku tak akan melupakan panggilan itu, May.sampai kapan pun…” kembali desiran aneh merayap di dada Ross. Sebuah rasa yang telah hampir tak pernah dirasakannya sejak kepergian Pras delapan belas tahun yang lalu.Tak dipungkirinya, dia sangat suka Pras memanggilnya dengan nama itu.Dulu, dia pasti tersipu saat memanggilnya dengan nama itu.
Perbincangan via telepon siang itu terus mengalir. Mereka memperbincangkan semua hal. Termasuk berbagai kenangan yang nyaris terkubur di telan waktu. Hampir satu jam tak terasa mereka asyik bertelepon.
“See you next, may. Kau masih akan di kantor atau mau pulang?”
“Aku pulang jam tiga. Okey. Thanks, Pras. Bay…Asaalamualaikum”
“Waalaikumussalam”, suara Pras dari seberang menutup perbincangan paling bersejarah siang itu. Rossi terpaku di meja kerjanya. Senyum indah tersungging dari bibirnya yang merah meranum.Sebuah ketukan pintu mengagetkannya.Rupanya Agus, OB kantornya yang menenteng bungkusan nasi padang pesanannya tadi.
“ Maaf, mbak. Agak lama soalnya tadi disuruh Pak Wendi antarkan surat dulu ke PT Nasa. Nggak apa – apa kan , Mbak?” Agus menyerahkan bungkusan nasi padang kepada Rossi.
“Ah, sudahlah tak apa, Gus. Kalau nyampai jam dua baru kamu saya suruh push up tiga seri, hahaha”,Rossi menerima bungkusan lalu “ dah kembaliannya buat kamu deh , Gus.itung – itung buat depe biar besok gak telat lagi, ya.”
“Wah makasih banget, Mbak. Bisa buat Agus makan siang lima kali nih, Alhamdulillah…”Agus memasukkan kembaliannya ke saku seragam OB nya lalu beranjak pergi.
“ jangan lupa besuk antar Mbak Ross , Gus!”, teriak Rossi pada Agus yang segera membungkukkan badan dengan takzim sambil mengacungkan jempolnya kea rah Rossi.
Hari itu benar – benar indah dan surprise bagi Rossi. Seharian senyum indah selalu tersungging di bibirnya ,walaupun setumpuk pekerjaan yang semuanya deadline di depan matanya.
****
Akhir Maret. Hampir sebulan pertemuannya kembali Rossi dengan pujaan hati. Hari dan minggu yang tak pernah terlewati tanpa saling bertelepon atau sekedar kirim short message. Hari yang seandainya boleh menawar ingin dia ubah menjadi tiga puluh jam, agar lebih panjang waktu yang dia gunakan buat bernostalgia dengan Pras. Hari yang nyaris tak pernah sekali pun tanpa bertabur harum wangi bunga warna – warni. Hari yang selalu berhias dengan puji sanjung, hingga Rossa kembali percaya diri, bahkan kadang merasa menjadi wanita paling cantik di dunia. Prasetyo, lelaki tampan pujaan rossi yang mahir memainkan gitar dan organ itu memang lihai dan mampu membuat Rossi kalang kabut, dulu maupun kini.
Rintik gerimis yang berbaur dengan sinar mentari sore itu membasah kota Jakarta.Genangan – genangan kecil di sana – sini menciptakan bias – bias fatamorgana di sepanjang Jalan protokol.Kendaraan besar kecil berlalu – lalang , berkejaran, mengejar target,seolah tak peduli dengan kegundahan hati Rossi di dalam sebuah taksi yang melaju pelan menembus jalan itu. Jam di tangan Rossi menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit.Sesekali wanita cantik itu menghela nafas panjang, seolah ingin menahan sesuatu yang membuncah di dadanya. Ya. Wanita itu nekat mencari prass ke metropolitan, tempat Prasetyo bekerja dan tinggal. Dia ingin membuat kejutan indah untuk Prass.Padahal, sejatinya, ada perasaan risih di hatinya. Tak semestinya seorang wanita mencari laki – laki Dipandanginya bungkusan kado biru muda di dalam tas boutique yang ditentengnya. Sebuah hadiah istimewa yang akan dia berikan sebagai kejutan manis buat Prass yang hari ini tepat berusia tiga puluh lima tahun. Dibela – belainnya jauh – jauh datang dari Yogyakarta.Sebenarnya Rossi ingin minta dijemput di bandara tadi, tapi hati kecilnya menolak. Dia ingin buat kejutan untuk Prass.
“ Jalan ahmad Yani 243, Pak, jangan lupa…” Rossi mengingatkan sang sopir taksi. Tampak si sopir mengangguk takzim, tanda dia sangat kenal kota itu.
“ sudah sampai, Bu..” ucapan sopir itu mengagetkan lamunan Rossi.tak terasa, taksinya ternyata sudah masuk ke sebuah pelataran gedung megah berlantai tinggi. Sebuah gedung bertuliskan kantor Bea Cukai.sejenak Rossi termangu. Dalam pikirannya, terbayang Prass, yang mungkin salah satu pimpinan di kantor ini. Ada sedikit rasa gamang dan agak grogi. Tak menyangka, mantan kekasihnya bekerja di kantor ini. Memang selama ini Prass tidak pernah terbuka tentang pekerjaannya.Dia hanya bilang kerja di Jalan ahmad Yani 243.
“ EEnng..ini kantor Bea Cukai, Pak? “ Bertanya Rossi dengan sedikit gugup.
“ Betul, Bu. Silakan..sudah sampai”
“ Ya, terima kasih”.
Sudah pukul 16.30.Rupanya kantor masih ramai. Lima hari kerja, jadi karyawan pulang sampai pukul 17.00, piker Rossi.Wanita itu membetulkan rok panjangnya yang sedikit kusut lalu memandang berkeliling.”aduh, kok apa yang harus kulalukan, ya”. Gumam Rossi. Tiba – tiba seorang satpam mendekatinya.
“ Selamat siang, Bu, Ada yang bisa saya bantu?”
Rossi tidak segera menyahut. Sejenak dia terpaku hingga satpam kantor itu mengulangi pertanyaannya
“ Mbak..”
“ Eh, iya, Pak.” Perasaan tidak nyaman mulai menggerogoti hati Rossi. Entah mengapa tiba – tiba ingin dia mengurungkan niatnya mencari Prasetyo dan berbohong pada sarpam itu. Akan tetapi di sisi lain, dia sangat ingin bertemu dengan pujaan hatinya itu.
“Mbak ini dari mana, mencari siapa? ‘ Tanya sang satpam dengan cukup sopan.
“ Begini, Mas. Apa di kantor ini ada yang bernama Bapak Prasetyo?” akhirnya meluncur juga sebuah pertanyaan dari mulut Rossi.
‘ Prasetyo siapa, ya Mbak? Wah, maaf. Karyawan di sini banyak sekali. Apa jabatan beliau?”
Rossi gelagapan. Dia bahkan tidak pernah Tanya apa jabatan Prasetyo di kantor ini.
“ Ehm…saya sendiri gak begitu paham, Mas.’
“ Wah, agak sulit bagi saya untuk mencarinya, Bu. Kalau ibu bisa menyebutkan minimal divisinya saya akan carikan data di computer, Bu.”
Wah, satpam yang baik. Ternyata di Jakarta ada juga orang yang ramah semacam satpam ini.Pikir Rossi dalam hati.
“ Ehm.. kami teman lama, Mas. Beliau hanya menyebutkan kantornya, tanpa menyebut nama jabatannya, tuh!”
“ Ciri – cirinya?” Tanya satpam itu lagi.
Rossi tentu saja malu untuk menyebutkan bahwa cirri Prasetyo adalah berwajah tampan, pinter main music, dan sangat mencintai Rossi. Hahaha..itu adalah ciri konyol.
“ Apa ya, Pak?” kembali Rossi seperti orang linglung. “ Aha…dia berambut hitam berombak, berkumis,dan tampan!” jawab Rossi sambil terkekeh. Satpam itu juga ikut tertawa mendengar jawaban konyol tamunya.
“Ah si Embak bisa saja.Saya juga tampan, dan berkumis lho, Mbak!’Satpam itu kembali tertawa.
Rossi mulai putus asa.Menyesal aku tak pernah Tanya dengan jelas tentang Prasetyo. Kalau dia hubungi Pras lewat hp, berarti program surprise yang telah dirancangnya akan berakhir di pelataran Kantor itu. Maka diurungkan niatnya memencet hape.Mungkin aku harus mengeksekusi proyekku di palataran ini. Gumam Rossi nyaris putus asa.
“ Eh.. sebentar, Mbak”,berkata satpam itu dengan nada agak tinggi tanda dia mengetahui sesuatu.
“ Apa, Mas? Dah ketemu kan? “
“ Apakah dia Prasetyo Utomo?”
Sebuah sinar indah berkelebat di depan mata Rossi. Satpam itu menyebut nama panjang Prass.
“ Seratus, Mas! Gimana, anda kenal kan? “berbinar mata Rossi demi disebutnya nama itu.
Tampak satpam itu memandang kearah Rossi.
“Mbak ini siapanya?”
“ Saya..eh..temannya , Mas. “Rossi gugup mengucapkan kata teman. Dia malu untuk mengatakan bahwa dirinya adalah kekasih Prass.
“ Tapi, Mbak..” tampak satpam itu ragu dalam berkata.
“ Apa lagi to Mas?” Sudahlah…tolong bilang kalau ada tamu menunggu di lobi kantor gitu, Mas.
“ Mbak…”
“ Ada apa? “ Rossi mulai ikut – ikutan bingung dengan keraguan sang satpam.
“ Apa betul mbak ini adalah teman Mas pras?”
“ Memangnya kenapa?” Tanya Rossi agak sewot.
“ Mari kuantar ke tempat mas Prasetyo. Dia tidak di sini kok, mbak!” mandadak satpam itu ngeloyor pergi. Rupanya dia mengambil motor di tempat parkir.
“ Ayo, bonceng!”
‘ Lho, piye to? Apa pak Pras tidak kerja di sini, Mas? “ Rossi keheranan dengan sikap satpam itu.Yang ditanya hanya menjawab lirih.setelah itu motor sang satpam melaju agak cepat menuju jalan yang berlawanan arah dengan jalan yang ditempuhnya tadi. Entah mengapa ada perasaan tak enak menyelinap di bilik hati Rossi. Dia sampai – sampai tidak takut atau curiga kepada satpam yang baru dikenalnya sepuluh menit yang lalu. Rasa ingin jumpa yang tak tertahankan membuat Rossi tak banyak berfikir lagi.Rintik hujan masih berderai ketka motot tiba – tiba berhenti di sebuah gang kecil yang agak kumuh, tapi ramai oleh aktivitas warga. Rupanya sebuah pasar sore atau pasar krempyeng, begitu biasa di jawa disebut. Satpam itu tampak mengedarkan pandangaannya kea rah pasar yang berjarak kurang dari lima belas meter dari tempatnya berdiri. Dia tampak celingukan mencari seseorang dan tanpa berkata sepatah kata pun. Sedangkan Rossi sendiri sibuk dengan kebingungannya.
“ Mbak…” tiba – tiba satpam itu menunjukkkan tanggannya ke arah seseorang . “yang itukah orangnya?”
Terkesiap dada Rossi begitu dia melihat pemandangan yang tak pernah terbayang sebelumnya. Seorang lelaki berkaos lusuh, warna putih yang sudah tak bisa dibilang putih lagi. Celana komprang warna hitam dan sandal jepit belel. Walaupun sudah jauh berubah, Rossi sangat hafal. Lelaki yang bercambang semrawut dan berambut gondrong acak – acakan itu rupanya adalah Prasetyo Utomo. Lelaki yang bertahun – tahun ditunggunya sampai dia belum menikah hingga usia di atas kepala tiga. Lelaki yang selalu menghiasi setiap mimpi di tidurnya, lelaki yang dulu selalu menghiburnya tatkala Rossi putus asa karena masalah keluarga.Lelaki yang cerdas dan pantang menyerah.Rossi hampir tak percaya dengan pemandangan di depan matanya.
“ Mbak, betul diakah yang mbak cari? Dia mantan pesuruh di kantor kami. Tapi sudah keluar sejak setahun yang lalu. Sekarang jadi kuli panggul di pasar ini. Dan anak laki – laki kecil berkaus coklat di sampingnya itu adalah anaknya yang ketiga…”
Kalimat terakhir sang satpam semakin membuat Rossi nyaris kehilangan keseimbangan tubuhnya.
Dia sudah tak bisa lagi menahan tubuhnya yang lemas tak berdaya. Gerimis semakin deras, mengguyur sudut metropolitan yang kejam dan tak ampun pada siapa pun.

©©©
Pelajaran Mengarang
Oleh seno Gumira Aji Darma
Pelajaran mengarang sudah dimulai.
Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.
Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”. Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.
***Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.
“Mama, apakah Sandra punya Papa?”
“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”
Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.
Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk kedalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan dimuka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.
“Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”
Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau keluar kota berhari-hari entah ke mana.
Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.
“Anak siapa itu?”
“Marti.”
“Bapaknya?”
“Mana aku tahu!”
Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk diruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka.
“Anak kecil kok dibawa kesini, sih?”
“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian dirumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”
Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru diluar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.
***
Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik keatas kursi.
Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.
“Mama, mama, kenapa menangis, Mama?”
Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih mengingat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan “Diam, Anak Setan!” atau “Bukan urusanmu, Anak Jadah” atau “Sudah untung kamu ku kasih makan dan ku sekolahkan baik-baik. Jangan cerewet kamu, Anak Sialan!”
Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergelatak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.
“Mama kerja apa, sih?”
Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.
Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seprti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra …”
Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita dari sebuah buku berbahasa inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.
“Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”
“Seperti Mama?”
“Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”
Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka, berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager …
Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri dimuka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.
DITUNGGU DI MANDARIN
KAMAR: 505, PKL 20.00
Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan merasa sangat merindukan wanita itu. Tapi, begitulah , ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkanya.
***
Empat puluh menit lewat sudah.
“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu guru Tati.
Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang teralalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Bebarapa diantaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari keluar kelas.
Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.
“Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.
Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi, begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. Mama, Mama, bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.
Ia juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhnya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika dikolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama …” dan pipinya basah oleh air mata.
“Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.
Semua anak berdiri dan menumpuk karanganya di meja guru. Sandra menyelipkan kertas di tengah.
Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.
Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong:
Ibuku seorang pelacur…

Palmerah, 30 November 1991
*) Dimuat di harian Kompas, 5 Januari 1992. Terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 1993.

Master advanced features - Share

Master advanced features - Share

Jumat, 27 Mei 2011

PELEPASAN SISWA, ANTARA ESENSI DAN GENGSI


Pelepasan siswa kelas pamungkas, baik itu kelas VI, kelas IX, maupun kelas XII dari tahun ke tahun selalu dilaksanakan oleh sekolah. Tujuan kegiatan itu sebenarnya sangat positif, apabila dikemas dengan baik, rapi, profesional, dan humanis.Momentum akhir tahun itu bisa digunakan sebagai sarana promosi sekolah, ajang penampilan bakat minat siswa, dan sekaligus sebagai sarana hiburan yang mendidik bagi warga sekolah maupun masyrakat
Tentu saja sekali lagi,hal - hal di atas akan tercapai bila sekolah dalam hal ini panitia penyelenggara benar - benar mempersiapkan formula pelepasan dengan sungguh - sungguh dan memperhatikan berbagai aspek penting yang akan menunjang kesusksesan sebuah acara.
Apa yang dimaksud dengan sukses di sini ? Sukses dalam konteks penulis adalah, penyelenggaraan acara pelepasan berjalan lancar, menghibur, memberikan kepuasan kepada segenap pelaksana kegiatan dan masyarakat, dan yang paling penting adalah mampu memberikan suguhan - suguhan yang cantik sekaligus mendidik.
namun, sudahkah hal - hal itu tercapai? Jawabannya adalah belum memuaskan. Pelepasan siswa sebagai ajang kebolehan siswa menampilkan bakat minat siswa sering diwarnai dengan aksi - aksi tidak intelek, semacam joget bebas tanpa memperhatikan norma,unjuk pakaian di luar norma kesopanan bak artis ibu kota yang jauh dari norma agama dan budaya bangsa, dan yang terparah jauhnya penerapan nilai - nilai kepribadian lihur bagi para siswa, misalnya joged dangdut dengan goyang ala penyanyi terkenal dan lain sebagainya.
sebenarnya acara hebat itu bisa menjadi ajang positif, mengasah keterampilan siswa berbicara; berpidato, memandu acara, mengelola kegiatan, dan mengasah kreativitas seni siswa dll.
ayolah, ingin siswa kita tumbuh menjadi siswa terampil,cerdas, berkarakter, atau justru sebaliknya akan mencetak mereka menjadi pribadi - pribadi plagiat, suka meniru gaya orang lain dan bermental pengekor?
Hanya kita yang bisa menjawabnya. Yang pasti tentu kita tak akan pernah rela tiga atau enam tahun kita mengajar dan mendidik mereka, lalu keluar menjadi pribadi - pribadi yang lupa siapa jati dirinya.

Minggu, 22 Mei 2011

Kajian Kritis tentang Emotional Quotient

Faktor EQ dan Kecerdasan
Sebuah Analisis Kritis
Oleh : Margiati


Selama ini kita sering menganggap bahwa kecerdasan seseorang itu diukur hanya dengan intelegensi quotient ( IQ ) semata. Ternyata penelitian terbaru tentang otak menunjukkan bahwa ada faktor lain yang sangat berpengaruh dalam mengukur kecerdasan manusia di samping IQ, yakni Emotional Quotient ( EQ). Di zaman global yang penuh tantangan atau kompetisi sekarang ini, selain memperhatikan inteligensi otak (IQ, nilai akademik sekolah), kita juga harus memperhatikan kepribadian dan inteligensi emosional (EQ, AE). Emotional Intelligence atau sering disebut Emotional Quotient (EQ) adalah kecerdasan emosional yang mencakup kesadaran diri, pengendalian dorongan hati, ketekunan, semangat atau motivasi diri, empati, dan kecakapan sosial.
Daniel Goleman mengungkapkan mengapa orang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang-sedang menjadi berhasil. Hal ini disebabkan oleh satu faktor penting, yang selama ini selalu diabaikan, yaitu faktor EQ. Kecerdasan emosional ini memiliki ciri-ciri yang menandai orang yang menonjol dalam hubungan interpersonal yang dekat dan hangat, penyesuaian dan pengendalian diri yang baik (dalam hal emosi, perasaan, frustrasi), menjadi bintang di pergaulan linkungan sosial dan dunia kerja. Seandainya seorang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah maka dia akan mengalami kesulitan bergaul (sulit berteman), kesulitan mendapat pekerjaan, kesulitan perkawinan, kecanggungan mendidik anak, memburuknya kesehatan, dan akhirnya menghambat perkembangan intelektual dan menghancurkan karir. Barangkali kerugian terbesar diderita oleh anak-anak, yaitu dapat terjerumus stres, depresi, gangguan makan, kehamilan yang tak diinginkan, agresivitas, dan kejahatan dengan kekerasan.
Beberapa penelitian menghasilkan sesuatu yang luar biasa tentan peranan EQ ini dalam kehidupan seseorang. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Nancy Gibbs terhadap anak – anak yang berusia 4 tahun. Peneliti berjanji akan memberikan marshmallow kepada beberapa anak yang ditelitinya. Namun, dia menjajikan akan memberikan dobel marshmallow kepada anak yang bersabar menunggu peneliti memesannya. Anak yang tidak bersabar hanya akan mendapatkan satu marshmallow. Beberapa anak yang tak sabar segera berebut untuk mendapatkan marshmallow saat itu, akan tetapi beberapa yang lain memilih duduk tenang, bersabar menunggu pemesanan marshmallow berikutnya agar mendapatkan dobel. Setelah dewasa, terbukti anak – anak yang bersabar tadi menjadi anak yang lebih mudah diatur, lebih popular, senang berpetualang, percaya diri, dan menjadi remaja yang bisa diandalkan. Sementara anak – anak yang dulu tak sabar itu ternyata menjadi pribadi yang suka menyendiri, mudah frustasi, keras kepala, mudah stress dan menghindari tantangan. Dan ketika dilakukan tes scholastic, anak – anak yang sabar mendapat nilai 210 atau jauh di atas anak – anak yang dahulu tidak sabar.
Dari ilustrasi di atas kita dapat menangkap pelajaran berharga, bahwa emosi sangat memegang peranan penting dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang di kemudian hari. Perasaan mudah marah, khawatir yang berlebihan, tidak percaya diri, terlalu ketakutan dll itu adalah beberapa indikasi adanya kekurangcerdasan emosional seseorang. Sebaliknya perasaan tenang, keluwesan, mudah berempati, percaya diri, mudah membaca dan menyesuaikan diri dengan kondisi sekitar dan lain sebagainya adalah beberapa indikator yang menunjukkan kecerdasan emosional seseorang. Termasuk dalam katagori orang yang cerdas emosi menurut Goleman adalah manakala dia mampu marah dengan porsi yang tepat, derajat yang tepat, saat yang tepat dan dengan cara yang tepat.
Ir. Yoki, S.Psi. seorang psikolog mengatakan bahwa dalam lingkungan sosial, orang yang berhasil belum tentu orang yang waktu masih bersekolah mempunyai nilai sekolah yang baik sekali, juga belum tentu yang keluaran dari sekolah favourit/terkenal. Mereka yang berhasil adalah kebanyakan dari mereka yang dalam memanfaatkan dan mengembangkan faktor EQ dalam hubungan sosial. Seperti : penghargaan satu dengan yang lainnya, kesadaran diri, pengendalian diri, kesabaran, sikap halus (lembut), optimistik, dan lain-lain. Disini digunakan kata memanfaatkan dan mengembangkan seperti disebutkan di atas karena EQ itu selain dipengaruhi oleh faktor keturunan (nature) juga dipengaruhi oleh faktor belajar/setelah lahir (nurture).
Yang pasti apapun profesi dan pekerjaan Anda jika ingin berhasil dan bertahan, persyaratan kemampuan dan pengetahuan khusus terhadap bidang profesi tersebut yang harus ada. Namun hanya dengan persyaratan itu adalah tidak cukup dan yang lebih penting adalah mampu atau tidaknya menciptakan hubungan interpersonal dan sosial yang baik dan sempurna. Oleh karena itu, kita harus bisa meningkatkan dan memperoleh kemampuan EQ kita.

Jumat, 04 Februari 2011

Frasa dan Klausa

TUGAS MATA KULIAH SINTAKSIS
FRASE
A. Pengertian Frase
Frase menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif. Frase adalah satuan konstruksi yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan (Keraf, 1984:138). Frase juga didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonprediktif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1991:222). Menurut Prof. M. Ramlan, frase adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan (Ramlan, 2001:139). Artinya sebanyak apapun kata tersebut asal tidak melebihi jabatannya sebagai Subjek, predikat, objek, pelengkap, atau pun keterangan, maka masih bisa disebut frasa.
B. Contoh:
1. rumah bersalin itu
2. yang akan datang
3. sedang memasak
4. cantik sekali
5. minggu depan
6. di depan
Jika contoh itu diletakkan dalam kalimat, kedudukannya tetap pada satu jabatan saja.
1. Rumah bersalin itu(S) luas(P).
2. Beliau (S) yang akan datang (P) besok(Ket).
3. Bapak(S) sedang memasak (P) nasi goreng (O).
4. Gadis itu(S) cantik sekali(P).
5. Minggu depan (Ket) aku(S) kembali(P).
6. Bu Camat(S) berdiri(P) di depan(Ket).

Jadi, walau terdiri atas dua kata atau lebih tetap tidak melebihi batas fungsi. Pendapat lain mengatakan bahwa frase adalah satuan sintaksis terkecil yang merupakan pemadu kalimat.
Contoh:
1. Mereka(S) sering terlambat(P).
2. Mereka(S) terlambat(P).
Ket: ( _ ) frasa.
Pada kalimat pertama kata ‘mereka’ yang terdiri atas satu kata adalah frasa. Sedangkan pada kedua kata berikutnya hanya kata ‘sering’ saja yang termasuk frasa karena pada jabatan itu terdiri atas dua kata dan kata ‘sering sebagai pemadunya. Pada kalimat kedua, kedua katanya adalah frasa karena hanya terdiri atas satu kata pada tiap jabatannya.
Dari kedua pendapat tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa frasa bisa terdiri atas satu kata atau lebih selama itu tidak melampaui batas fungsi atau jabatannya yang berupa subjek, predikat, objek, pelengkap, atau pun keterangan. Jumlah frasa yang terdapat dalam sebuah kalimat bergantung pada jumlah fungsi yang terdapat pada kalimat itu juga.
C. Jenis Frase
Jenis frasa dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan persamaan distribusi dengan unsurnya (pemadunya) dan berdasarkan kategori kata yang menjadi unsur pusatnya.
1. Berdasarkan Persamaan Distribusi dengan Unsurnya (Pemadunya).
Berdasarkan persamaan distribusi dengan unsurnya (pemadunya, frasa dibagi menjadi dua, yaitu Frasa Endosentris dan Frasa Eksosentris.
1. Frasa Endosentris, kedudukan frasa ini dalam fungsi tertentu, dpat digantikan oleh unsurnya. Unsur frasa yang dapat menggantikan frasa itu dalam fungsi tertentu yang disebut unsur pusat (UP). Dengan kata lain, frasa endosentris adalah frasa yang memiliki unsur pusat.
Contoh:
Beberapa warga (S) di lapangan(P).
Kalimat tersebut tidak bisa jika hanya ‘Beberapa di lapangan’ (salah) karena kata warga adalah unsur pusat dari subjek. Jadi, ‘beberapa warga’ adalah frasa endosentris.
Frasa endosentris sendiri masih dibagi menjadi tiga.
1. Frasa Endosentris Koordinatif, yaitu frasa endosentris yang semua unsurnya adalah unsur pusat dan mengacu pada hal yang berbeda, di antara unsurnya terdapat (dapat diberi) ‘dan’ atau ‘atau’.
Contoh:
1. rumah pekarangan
2. suami istri
3. ayah ibu
4. pembinaan dan pembangunan
5. pembangunan dan pembaharuan
6. belajar atau bekerja.
2. Frasa Endosentris Atributif, yaitu frase endosentris yang di samping mempunyai unsur pusat juga mempunyai unsur yang termasuk atribut. Atribut adalah bagian frase yang bukan unsur pusat, tapi menerangkan unsur pusat untuk membentuk frasa yang bersangkutan.
Contoh:
1. pembangunan lima tahun
2. sekolah Inpres
3. buku baru
4. orang itu
5. malam ini
6. sedang belajar
7. sangat bahagia.
Kata-kata yang dicetak miring dalam frasa-frasa di atas adalah unsur pusat, sedangkan kata-kata yang tidak dicetak miring adalah atributnya.
3. Frase Endosentris Apositif, yaitu frasa endosentris yang semua unsurnya adalah unsur pusat dan mengacu pada hal yang sama. Unsur pusat yang satu sebagai aposisi bagi unsur pusat yang lain.
Contoh:
Ahmad, anak Pak Sastro, sedang belajar.
Ahmad, …….sedang belajar.
……….anak Pak Sastro sedang belajar.
Unsur ‘Ahmad’ merupakan unsur pusat, sedangkan unsur ‘anak Pak Sastro’ merupakan aposisi. Contoh lain:
1. Yogya, kota pelajar
2. Indonesia, tanah airku
3. Bapak SBY, Presiden RI
4. Mamad, temanku.
Frasa yang hanya terdiri atas satu kata tidak dapat dimasukkan ke dalalm frasa endosentris koordinatif, atributif, dan apositif, karena dasar pemilahan ketiganya adalah hubungan gramatik antara unsur yang satu dengan unsur yang lain. Jika diberi aposisi, menjadi frasa endosentris apositif. Jika diberi atribut, menjadi frasa endosentris atributif. Jika diberi unsur frasa yang kedudukannya sama, menjadi frasa endosentris koordinatif
2. Frase Eksosentris, adalah frasa yang tidak mempunyai persamaan distribusi dengan unsurnya. Frase ini tidak mempunyai unsur pusat. Jadi, frase eksosentris adalah frase yang tidak mempunyai UP.
Contoh:
Sejumlah mahasiswa di teras.
1. Berdasarkan Kategori Kata yang Menjadi Unsur Pusatnya.
Berdasarkan kategori kata yang menjadi unsur pusatnya, frasa dibagi menjadi enam.
1. Frasa nomina, frasa yang UP-nya berupa kata yang termasuk kategori nomina. UP frasa nomina itu berupa:
1.1. nomina sebenarnya
contoh:
pasir ini digunakan utnuk mengaspal jalan
1.2 pronomina
contoh:
dia itu musuh saya
1.3 nama
contoh:
Dian itu manis
1.4 kata-kata selain nomina, tetapi strukturnya berubah menjadi nomina
contoh:
dia rajin → rajin itu menguntungkan
anaknya dua ekor → dua itu sedikit
dia berlari → berlari itu menyehatkan
kata rajin pada kaliat pertam awalnya adalah frasa ajektiva, begitupula dengan dua ekor awalnya frasa numeralia, dan kata berlari yang awalnya adalah frasa verba.
2. Frasa Verba, frasa yang UP-nya berupa kata yang termasuk kategori verba. Secara morfologis, UP frasa verba biasanya ditandai adanya afiks verba. Secara sintaktis, frasa verba terdapat (dapat diberi) kata ‘sedang’ untuk verba aktif, dan kata ‘sudah’ untuk verba keadaan. Frasa verba tidak dapat diberi kata’ sangat’, dan biasanya menduduki fungsi predikat.
Contoh:
Dia berlari.
Secara morfologis, kata berlari terdapat afiks ber-, dan secara sintaktis dapat diberi kata ‘sedang’ yang menunjukkan verba aktif.
3. Frasa Ajektifa, frasa yang UP-nya berupa kata yang termasuk kategori ajektifa. UP-nya dapat diberi afiks ter- (paling), sangat, paling agak, alangkah-nya, se-nya. Frasa ajektiva biasanya menduduki fungsi predikat.
Contoh:
Rumahnya besar.
Ada pertindian kelas antara verba dan ajektifa untuk beberapa kata tertentu yang mempunyai ciri verba sekaligus memiliki ciri ajektifa. Jika hal ini yang terjadi, maka yang digunakan sebagai dasar pengelolaan adalah ciri dominan.
Contoh:
menakutkan (memiliki afiks verba, tidak bisa diberi kata ‘sedang’ atau ‘sudah’. Tetapi bisa diberi kata ‘sangat’).
4. Frasa Numeralia, frasa yang UP-nya berupa kata yang termasuk kategori numeralia. Yaitu kata-kata yang secara semantis mengatakan bilangan atau jumlah tertentu. Dalam frasa numeralia terdapat (dapat diberi) kata bantu bilangan: ekor, buah, dan lain-lain.
Contoh:
dua buah
tiga ekor
lima biji
duapuluh lima orang.
5. Frasa Preposisi, frasa yang ditandai adanya preposisi atau kata depan sebagai penanda dan diikuti kata atau kelompok kata (bukan klausa) sebagai petanda.
Contoh:
Penanda (preposisi) + Petanda (kata atau kelompok kata) di teras
ke rumah teman
dari sekolah
untuk saya

6. Frasa Konjungsi, frasa yang ditandai adanya konjungsi atau kata sambung sebagai penanda dan diikuti klausa sebagai petanda. Karena penanda klausa adalah predikat, maka petanda dalam frasa konjungsi selalu mempunyai predikat.
Contoh:
Penanda (konjungsi) + Petanda (klausa, mempunyai P)
Sejak kemarin dia terus diam(P) di situ.
Dalam buku Ilmu Bahasa Insonesia, Sintaksis, ramlan menyebut frasa tersebut sebagai frasa keterangan, karena keterangan menggunakan kata yang termasuk dalam kategori konjungsi.
D. Ciri – ciri Frase
1. Tidak membentuk kata baru
2. Dapat disisipi kata lain
3. Tidak melebihi batas fungsi unsur klausa.
KLAUSA
A. Pengertian klausa
Klausa ialah satuan gramatikal, berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek (S) dan predikat (P), dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana dkk, 1980:208). Klausa ialah unsur kalimat, karena sebagian besar kalimat terdiri dari dua unsur klausa (Rusmaji, 113). Unsur inti klausa adalah S dan P. Namun demikian, S juga sering juga dibuangkan, misalnya dalam kalimat luas sebagai akibat dari penggabungan klausa, dan kalimat jawaban (Ramlan, 1981:62.
Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa klausa adalah satuan gramatik yang terdiri atas predikat, baik diikuti oleh subjek, objek, pelengkap, keterangan atau tidak dan merupakan bagian dari kalimat. Penanda klausa adalah P, tetapi yang menjadi klausa bukan hanya P, jika mempunyai S, klausa terdiri atas S dan P. Jika mempunyai S, klausa terdiri dari atas S, P, dan O. jika tidak memiliki O dan Ket, klausa terdiri atas P, O, dan Ket. Demikian seterusnya.Penanda klausa adalah P, tetapi yang dianggap sebagai unsur inti klausa adalah S dan P.
Penanda klausa adalah P, tetapi dalam realisasinya P itu bias juga tidak muncul misalnya dalam kalimat jawaban atau dalam bahasa Indonesia lisan tidak resmi. Contoh :
Pertanyaan : kamu memanggil siapa?
Jawaban : teman satu kampus  S dan P-nya dihilangkan.
Contoh pada bahasa tidak resmi : saya telat!  P-nya dihilangkan.
Klausa merupakan bagian dari kalimat. Oleh karena itu, klausa bukan kalimat. Klausa belum mempunyai intonasi lengkap. Sementara itu kalimat sudah mempunyai intonasi lengkap yang ditandai dengan adanya kesenyapan awal dan kesenyapan akhir yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut sudah selesai. Klausa sudah pasti mempunyai P, sedangkan kalimat belum tentu mempunyai P.
B. CONTOH KLAUSA
1. ayam saya hitam
2. rumah itu besar
3. rumah besar itu putih
4. rumah putih itu besar
5. rumah besar itu di atas puncak gunung

C. JENIS – JENIS KLAUSA
Ada tiga dasar yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan klausa. Ketiga dasar itu adalah (1) Klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya (BSI), (2) Klasifikasi klausa berdasarkan ada tidaknya unsur negasi yang menegatifkan P (BUN), dan (3) Klasifikasi klausa berdasarkan kategori frasa yang menduduki fungsi P (BKF). Berikut hasil klasifikasinya :
1. Klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya.
Klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya mengacu pada hadir tidaknya unsur inti klausa, yaitu S dan P. Dengan demikian, unsur ini klausa yang bisa tidak hadir adalah S, sedangkan P sebagai unsur inti klausa selalu hadir. Atas dasar itu, maka hasil klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya, berikut klasifikasinya :
1. Klausa Lengkap
Klausa lengkap ialah klausa yang semua unsur intinya hadir.
Klausa ini diklasifikasikan lagi berdasarkan urutan S dan P menjadi :
1.1 Klausa versi, yaitu klausa yang S-nya mendahului P. Contoh :
Kondisinya sudah baik.
Rumah itu sangat besar.
Mobil itu masih baru.
1.2 Klausa inversi, yaitu klausa yang P-nya mendahului S. Contoh :
Sudah baik kondisinya.
Sangat besar rumah itu.
Masih baru mobil itu.
2. Klausa Tidak Lengkap
Klausa tidak lengkap yaitu klausa yang tidak semua unsur intinya hadir. Biasanya dalam klausa ini yang hadir hanya S saja atau P saja. Sedangkan unsur inti yang lain dihilangkan.
2. Klasifikasi klausa berdasarkan ada tidaknya unsur negasi yang secara gramatik menegatifkan P.
Unsur negasi yang dimaksud adalah tidak, tak, bukan, belum, dan jangan. Klasifikasi klausa berdasarkan ada tidaknya unsur negasi yang secara gramatik menegatifkan P menghasilkan :
1. Klausa Positif
Klausa poisitif ialah klausa yang ditandai tidak adanya unsur negasi yang menegatifkan P. Contoh :
Afgan seorang penyanyi terkenal.
Mahasiswa itu mengerjakan tugas.
Mereka pergi ke kampus.
2. Klausa Negatif
Klausa negatif ialah klausa yang ditandai adanya unsur negasi yang menegaskan P. Contoh :
Afgan bukan seorang penyanyi terkenal.
Mahasiswa itu belum mengerjakan tugas.
Mereka tidak pergi ke kampus.
Kata negasi yang terletak di depan P secara gramatik menegatifkan P, tetapi secara sematik belum tentu menegatifkan P. Dalam klausa Dia tidak tidur, misalnya, memang secara gramatik dan secara semantik menegatifkan P. Tetapi, dalam klausa Dia tidak mengambil pisau, kata negasi itu secara sematik bisa menegatifkan P dan bisa menegatifkan O. Kalau yang dimaksudkan 'Dia tidak mengambil sesuatu apapun', maka kata negasi itu menegatifkan O. Misalnya dalam klausa Dia tidak mengambil pisau, melainkan sendok.

3. Klasifikasi klausa berdasarkan kategori frasa yang menduduki fungsi P.
Berdasarkan kategori frasa yang menduduki fungsi P, klausa dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Klausa Nomina
Klausa nomina ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategori frasa nomina. Contoh :
Dia seorang sukarelawan.
Mereka bukan sopir angkot.
Nenek saya penari.
2. Klausa Verba
Klausa verba ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategori frasa verba. Contoh :
Dia membantu para korban banjir.
Pemuda itu menolong nenek tua.
3. Klausa Adjektiva
Klausa adjektiva ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategori frasa adjektiva. Contoh :
Adiknya sangat gemuk.
Hotel itu sudah tua.
Gedung itu sangat tinggi.
4. Klausa Numeralia
Klausa numeralia ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategori numeralia. Contoh :
Anaknya lima ekor.
Mahasiswanya sembilan orang.
Temannya dua puluh orang.
5. Klausa Preposisiona
Klausa preposisiona ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategori frasa preposisiona. Contoh :
Sepatu itu di bawah meja.
Baju saya di dalam lemari.
Orang tuanya di Jakarta.
6. Klausa Pronomia
Klausa pronomial ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk kategoi ponomial. Contoh :
Hakim memutuskan bahwa dialah yang bersalah.
Sudah diputuskan bahwa ketuanya kamu dan wakilnya saya.
4. Klasifikasi klausa berdasarkan potensinya untuk menjadi kalimat
Klasifikasi klausa berdasarkan potensinya untuk menjadi kalimat dapat dibedakan atas :
1. Klausa Bebas
Klausa bebas ialah klausa yang memiliki potensi untuk menjadi kalimat mayor. Jadi, klausa bebas memiliki unsur yang berfungsi sebagai subyek dan yang berfungsi sebagai predikat dalam klausa tersebut. Klausa bebas adalah sebuah kalimat yang merupakan bagian dari kalimat yang lebih besar. Dengan perkataan lain, klausa bebas dapat dilepaskan dari rangkaian yang lebih besar itu, sehingga kembali kepada wujudnya semula, yaitu kalimat. Contoh :
Anak itu badannya panas, tetapi kakinya sangat dingin.
Dosen kita itu rumahnya di jalan Ambarawa.
Semua orang mengatakan bahwa dialah yang bersalah.
2. Klausa terikat
Klausa terikat ialah klausa yang tidak memiliki potensi untuk menjadi kalimat mayor, hanya berpotensi untuk menjadi kalimat minor. Kalimat minor adalah konsep yang merangkum : pangilan, salam, judul, motto, pepatah, dan kalimat telegram. Contoh :
Semua murid sudah pulang kecuali yang dihukum.
Semua tersangka diinterograsi, kecuali dia.
Arie tidak menerima nasihat dari siapa pun selain dari orang tuanya.
5. Klasifikasi klausa berdasarkan kriteria tatarannya dalam kalimat.
Oscar Rusmaji (116) berpendapat mengenai beberapa jenis klausa. Menurutnya klausa juga dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria tatarannya dalam kalimat.
Berdasarkan tatarannya dalam kalimat, klausa dapat dibedakan atas :
1. Klausa Atasan
Klausa atasan ialah klausa yang tidak menduduki f ungsi sintaksis dari klausa yang lain. Contoh :
Ketika paman datang, kami sedang belajar.
Meskipun sedikit, kami tahu tentang hal itu.
2. Klausa Bawahan
Klausa bawahan ialah klausa yang menduduki fungsi sintaksis atau menjadi unsur dari klausa yang lain. Contoh :
Dia mengira bahwa hari ini akan hujan.
Jika tidak ada rotan, akarpun jadi.
D. CIRI –CIRI KLAUSA
Ciri-ciri klausa adalah:
1. mengisi slot dalam tataran kalimat sehingga dapat menduduki fungsi tertentu;
2. sekurang-kurangnya terdiri atas satu predikat;
3. mungkin mempunyai gatra seperti predikat (klausa yang predikatnya nominal). Misal: Dia guru.

Sang Dewi

Margiati Setiawan

Gema takbir, tahlil dan tahmid mulai berkumandang, bersahut-sahutan dari berbagai menara masjid yang kulewati. Sungguh membuatku bergetar menahan keharuan yang mengharu biru. Aku dan rombongan menepi, istirahat dan berbuka di daerah Sukamandi. Lirih kuucap puji syukur Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah, Engkau izinkan aku menuntaskan kewajiban suci ini sebulan penuh.

“Minumnya, Wan” Yudi menyodorkan segelas minuman mineral padaku.

“Trims”, kutenggak tanpa sisa air putih di tanganku setelah sebelumnya kulantunkan doa berbuka.

“Nih, bikang kesukaanmu. Sikat semua boleh, Wan!” Tio melemparkan bungkusan putih dari dalam mobil. Entang mengapa aku kurang bergairah berbuka malam ini. Mungkin karena pikiranku sudah melayang jauh ke kampung halaman.

“Lagi nggak nafsu, nih.” Kuambil separo bikang itu, selebihnya kukembalikan pada Tio dan Agus yang sedang asyik berbuka di dalam mobil. “Aku keburu pingin sampai rumah, Men. Kangen gudeg dan tahu bacemnya Emak!”

Kudengar tiga kawanku tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku.

“Wan, wan … dan tujuh tahun di Bogor, Cuma tahu bacem aja yang ada di otak kamu!’Yudi meledekku.

“Irwan tuh bukan cuman kangen Ibunya, dia tuh keburu gak sabar pingin jumpa bininya, ya nggak?” Agus menyela. Ketiganya tertawa bareng.Aku Cuma tersenyum.

“Maklum dan hampir dua bulan gak ketemu. Eh, gimana ya jagoan kecilmu?” Yudi merangkul pundakku.

Aku tadi pagi sempat telepon Dewi. Mereka baik-baik saja”, jawabku seraya mengibaskan celana jeansku yang kotor oleh remah-remah rotiku. “Puas-puasin bukanya ya… Aku mau sholat maghrib dulu”, aku berjalan menuju mushola kecil di dekat rumah makan di depan kami.

Semburat merah jingga semakin samar dan akhirnya menghilang di ufuk barat, digantikan warna abu-abu kehitam-hitaman menandakan siang telah berlalu dan kini malam menjelang. Gema takbir pertanda bulan Syawal telah tiba terus bergema, begitu syahdu dan Agung terdengar di telingaku. Mudik lembaran. Rutinitas tahunan yang senantiasa kutunggu dan bahkan ditunggu-tunggu oleh ribuan atau puluhan ribu umat muslim perantauan seperti aku ini. Mudik lembaran tahun ini terasa lain bagiku. Bila enam kali mudik sebelumnya aku adalah seorang perjaka yang bebas dan tak terikat oleh waktu, maka mudik kali ini mungkin paling mendebarkan bagiku. Seorang jagoan kecil berumur empat puluh hari telah menunggu-nunggu aku, ayahnya. Seorang jagoan buah hatiku dengan Dewi, istriku tercinta yang kunikahi sepuluh bulan yang lalu. Dewi adalah seorang wanita keibuan yang berhati “Dewi”. Wajahnya tidak terlalu cantik, tetapi lumayan manis menurutku.

Seorang wanita yang rela menungguiku hingga larut malam karena tuntutan pekerjaanku sebagai seorang karyawan lapangan si sebuah perusahaan mobil. Wajahnya mungil, berkaca mata minus dan selalu berjilbab ke manapun dia pergi. Pribadinya sederhana dan nrimo. Sifat terakhirnya itulah yang menuntunku untuk menjatuhkan pilihanku padanya hingga kusingkirkan jauh-jauh nama Indah, Evi, dan sederet gadis cantik lainnya yang pernah singgah di hatiku. Aku tersenyum sendiri. Mungkin ingat petualanganku. Rasa malu pada Tuhan membuatku semakin berusaha mendekat pada-Nya. Apalagi kehadiran Dewi dalam hidupku juga telah banyak mengubah hidupku.

Entah mengapa perjalanan mudikku kali ini terasa amat lama. Hati dan pikiranku sudah sampai di Bantul, tempat istri dan jagoan kecilku menunggu. Starlet yang kutumpangi berjalan merayap di antara ratusan mobil dan bus yang berderet panjang membentuk konvoi. Laju kendaraan tersendat-sendat, walaupun puncak arus mudik sebenarnya telah terjadi kemarin. Yudi yang berada di belakang kemudi menyilangkan kedua tangannya di belakang kepala. Tubuhnya dihempaskan ke sandaran jok tempat dia duduk.

“Macet lagi nih, Wan. Bisa-bisa kita sampai Yogya jam satu siang, nih!”

“Sabar aja, Yud. Habis mau gimana lagi!” seloroh Agus dari belakang.

“Yang penting ketemu gudeg dan tahu bacem lagi!” Seloroh Agus dari belakang. Kami semua tertawa. Kami berempat adalah teman sekantor. Diantara mereka, Yudilah yang paling akrab denganku. Dia sahabat kecilku di Magelang. Usia kami sama , dua puluh enam tahun. Bedanya, dia sudah menikah empat t ahun yang lalu tetapi belum dikarunia momongan. Sedangkan aku alhamdulillah Allah segera mengaruniakan jagoan kecil padaku. Sebulan setelah kumenikah, Dewi hamil.

“Matikan AC-nya, Yud.Aku pingin menghirup udara malam, kangen aroma sawah, nih.”

“Okey, boss.Ingat ngobor kodok kita ya, Wan?”

“He he e… kamu tahu saja!” aku tertawa seraya memukulkan tinju ke lengan Yudi. Masa kecilku memang indah dan penuh kenangan manis. Aku san Yudi sering sekali tertawa terkekeh bila mengenangnya.

Kupencet tombol kaca jendela hingga terbuka separo lebih. Semilir angin malam segera menghempas wajahku. Dingin.Hem … aroma padi, deretan pohon akasia yang memagari jalan tampak kokoh bagai pagar raksasa. Mobil berjalan kembali. Kaca kubiarkan terbuka. Kulayangkan pandangan mataku ke hamparan sawah nan luas. Padi siap panen terhampar luas bagai permadani Pakistan ditimpali sinar lampu neon di sepanjang jalan. Di kejauhan tampak berkedip-kedip lampu-lampu neon perkampungan. Aroma padi membuatku semakin ingin segera sampai rumah.Rinduku pada Ibu, Bapak dan saudara-saudaraku rasanya tak tertahankan. Mungkin saat ini rumah orang tuaku di Magelang sudah riuh rendah oleh celoteh keponakan-keponakanku, anak-anak dari kakak-kakakku yang sudah duluan sampai dirumah. Kalau saja tidak macet, mungkin aku sudah sampai Temanggung jam segini. Aku menggerutu dalam hati.Jam di pergelanganku sudah menunjuk angka dua lebih dua puluh menit.Pagi hampir menjelang. Sementara laju mobilku masih tetap dengan irama semula, merayap. Kami masih di Cirebon. Kulihat Agus dan Tio pulas di jok belakang. Sedangkan aku, sedikitpun tak bisa memicingkan mata. Entah mengapa aku tiba-tiba jadi gelisah. Sebentar-sebentar kulirik jam di pergelanganku. Mataku kembali kulayangkan ke luar. Rupa-rupanya kami sampai di pasar Cirebon. Deretan toko semua tertutup rapat. Tak ada aktivitas, kecuali beberapa tukang ojek yang bergerombol di beberapa sudut jalan, mengais rejeki dari pemudik yang akan menumpang motor ojeknya. Sedang apakah Dewi saat ini? Mungkinkah dia sudah bangun jam segini? Apakah dia lagi menyiapkan opor dan ketupat lembaran? Atau mungkin malah lagi berjuang mendiamkan tangis si kecil yang tiba-tiba bangun malam begini. Kuraih telepon genggamku di saku bajuku. Kupencet nomor nomor Dewi, tapi …uh! Mail box. Jam lima pagi kemarin sehabis sholat subuh aku sempat menelepon Dewi dari Bogor untuk mengabarkan kepulanganku.

“Mas Irwan jadi berangkat nanti sore?” suara Dewi terdengar manja. Kubayangkan dia sangat bahagia sewaktu menanyakan kepulanganku.

“Insya Allah, Wik. Aku nebeng mobil Tio. Kami berempat, Yudi yang akan pegang kemudi, gantian sama Agus apa aku nanti. Ntar berangkat jam empat sore. Tapi aku ke Magelang dulu, sungkem Ibu dan Bapak dulu. Rencananya, sorenya aku langsung ke Bantul.”

“Sebaiknya begitu, Mas. Yang penting Mas Irwan sungkem Ibu Bapak dulu di Magelang. Dewi menunggu di Bantul. Anu, Mas … “ Dewi menghentikan ucapannya.

“Ada apa, Wik? Mau pesan sesuatu?”

“Kalau Mas nggak keberatan tolong kereta bayi yang sudah kita beli sekalian dibawa ya. Aku agak capek gendhong Ardan akhir-akhir ini. Maksudku biar bisa gantian, Mas.” Suara Dewi terdengar lirih sehingga memaksaku menempelkan ponsel lekat-lekat di telingaku.

“Baiklah, Wik. Pesan apa lagi?” aku menggoda Dewi.

Senyap. Dewi tak segera menjawab pertanyaanku. Beberapa detik kemudian aku baru mendengar kembali suaranya yang lembut.

“Mas, ada sesuatu yang sudah kupersiapkan di almari kita, Bungkusan coklat, di rak paling atas. Itu adalah beberapa kerudung Dewi yang masih baru, juga beberapa potong baju muslim yang masih baru punya Dewi. Sempatkan untuk mengantar bungkusan itu ke Yayasan Yatim Piatu Permata hati ya,Mas. Pakaian dan kerudung-kerudung itu lebih mereka butuhkan. Mas bersedia?”suara dari seberang terdengar memohon. Aku tidak segera menjawab. Ada keharuan sekaligus kebanggaan menyelinap di dadaku. Istriku yang sholihah, dan dermawan.

“Gimana, Mas?’ suara pertanyaan Dewi mengagetkanku.

“Tentu saja, Wik.Nanti mas sempatkan untuk kesana.” Suaraku bergetar menahan haru.”Bagaimana perkembangan Ardan,Wik? Apa makin mirip aku?” tanyaku kembali.

“Iya. Bahkan seperti foto kopi Mas Irwan. Berat badannya sudah bertambah dua ons lagi. Kami snagat merindukan Mas Irwan”,kembali nada suara Dewi terdengar lirih.

“Aku juga tak sabar ingin segera bertemu kalian, tunggu aku ya…” sekali lagi suasana hening.Dewi tidak segera menjawabnya. “Hello, .. Dewi? Aku memastikan bahwa Dewi masih mendengarkan aku.

“Eh, iya,mas. Tentu saja. Kami menunggu Mas Irwan. Berhati-hatilah di perjalanan. Tidak usah terburu-buru. Semoga Allah memberi kekuatan pada Mas.”

“Baiklah,Wik. Sudah dulu ya. Ciumkan Ardhan untukku. Assalamualaikum ,” aku menutup percakapanku pagi dengan Dewi pagi itu. Kata-kata Dewi kemarin pagi masih terngiang jelas di telingaku. Sampai jam empat sore tadi aku masih sempat berkirim sms padanya. Kupandangi gambar Dewi di layar telepon genggamku. Berkerudung putih, berbaju hitam bergaris putih vertikal. Tampak cantik dan anggun. Wanita yang kuat dan tabah. Betapa tidak, cobaan emi cobaan melanda kehidupan kami. Satu setengah tahun yang lalu, sewaktu orang tuaku melamar Dewi untukku, rumah orang tuanya di Bantul masih utuh. Dua tahun kemudian ketika kami datang kembali untuk memusyawarahkan hari pernikahan, rumah joglo itu telah berubah menjadi puing-puing yang nyaris rata dengan tanah, tersipu gempa tektonik yang melanda wilayah Yogya dan sekitarnya beberapa bulan sebelumnya. Sungguh memilukan. Akhirnya tepat pada tanggal dua puluh enam Desember, sepuluh bulan yang lalu resmi kunikahi Dewi. Seminggu setelah menikah, Dewi kuboyong ke Bogor. Kami menempati sebuah rumah kontrakan di daerah Warung Jambu, dekat dengan perusahaan tempatku bekerja. Terpaksa aku menyuruhnya berhenti bekerja di sebuah kantor swasta di Jakarta, karena jarak yang cukup jauh. Aku bahagia dan menikmati kehidupan baruku. Aku juga merasakan alangkah besar dan tulisnya cinta Dewi padaku. Pendek kata, Dewi telah mampu menorehkan warna yang indah dalam hidupku. Dewi hamil. Akan tetapi, semenjak usia kandungannya menginjak tujuh bulan dia harus keluar masuk rumah sakit untuk opname sebanyak lima kali. Tabunganku banyak terkuras untuk biaya rumah sakit. Aku sangat mencemaskan nasib anak dan istriku. Tetapi semua kupasrahkan pada Allah. Siang malam tak berhenti aku berdoa untuk keselamatan mereka. Alhamdulillah Tuhan mengabulkan doaku hingga akhirnya Dewi melahirkan jagoan kecilku di Bantul, di rumah kedua orng tuanya.

Dering telepon genggam di tanganku mengagetkan lamunanku. Kubuka sebuah pesan singkat, yang ternyata dari mbak Widi, kakak perempuanku.

KAMU DAH NYAMPAI MANA, WAN? SEBAIKNYA KAMU GAK USAH MAMPIR MAGELANGLANGSUNG AJA KE BANTUL. ISTRIMU AGAK TIDAK ENAK BADAN.

Begegas kupencet tombol hijau untuk menghubungi mabk Widi. Tapi yang terdengar bunyi tulalit dn suara operator yang minta meninggalkan pesan. Dengan gugup kupencet tombol ponsel untuk menghubungi Dewi, tapi sialan! Masih juga Mail box. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Berbagai pertanyaan mengusikku. Parahkan sakit Dewi. Apa dia harus opname lagi? Ya tuhan, di hari lembaran begini, apa ada dokter buka?.

Semoga dia hanya masuk angin biasa. Aku mencoba menenangkan diri. Kulihat kembali jam tanganku. Pukul empat pagi. Hampir subuh.

“SMS dari siapa, Wan?” Yudi mengankap kegelisahanku.

“Mbak Widi. Katanya Dewi agak tidak enak badan, jadi aku langsung ke Bantul saja”.

“Tak masalah. Kami antar kamu sampai rumah istrimu, Wan.” Terdengar serak suara Tio dari jok belakang. Rupanya dia mendengar percakapan kami.

“Sudah kau hubungi ponselistrimu,Wan?” Yudi kembali bertanya.

“Belum sejak malam tadi HPnya dimatikan.

Mudikku kali ini benar-benar meleset dari rencana semula. Itu semua gara-gara jalanan macet. Sholat Idul Fitri kami laksanakan di lapangan Temanggung. Ada kemasygulan yang menyesak di dada sewaktu kulantunkan takbir, tahlil, dan tahmid di pagi yang fitri itu. Bayangan wajah Bapak.Ibu, Dewi dan Ardan jagoan kecilku silih berganti membayang di pelupuk mataku. Dua butir cairan bening menetes di pipiku sewaktu kulantunkan doa untuk keselamatan mereka.

Usai sholat Ied kami bergegas menuju ke mobil kembali. Ribuan muslim yang memenuhi lapangan tadi bergerak meninggalkan lapangan menuju rumahnya masing-masing. Kulihat Yudi sedang menerima telepon dari seseorang. Aku tidak terlalu mendengar percakapannya karena aku segera masuk dan duduk di jok depan. Kulihat wajah Yudi yang memucat. Kupikir dia kelelahan pagi ini. Tiba-tiba Yudi memandangku lekat-lekat. Kulihat ada air mata di pelupuk matanya. Aku semakin tak mengerti ketika tiba-tiba Yudi mengucapkan istighfar dan memelukku erat-erat, sangat erat.

“Kamu harus kuat dan sabar ya, Wan” tersendat suara Yudi di pundakku. Pelukannya semakin erat di tubuhku. Tio dan Agus pun hanya bisa diam sambil memegang erat tanganku. Hatiku semakin tak menentu karena Yudi tidak mengucapkan apa-apa lagi. Dia melarikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Meliuk-liuk di jalanan Magelang menuju Yogya nyaris tanpa kata-kata. Aku semakin yakin telah terjadi sesuatu yang cukup serius pada keluargaku.

Ada desiran-desiran aneh sewaktu kami memasuki kota Bantul. Yudi memperlambat laju mobilnya ketika kami sudah masuk perkampungan tempat istriku tinggal. Sesampai di mulut gang aku terpana sewaktumelihat sebuah bendera kecil warna putih terpasang. Kegundahan hatiku tak terbendung lagi. Puluhan atau malah mungkin ratusan orang duduk-duduk di kursi-kursi plastik yang terpasang rapi di teras dan halaman rumah mertuaku, di bawah naungan tenda plastik warna coklat.

Persendian tubuhku lemas seketika. Aku sudah tahu apa yang terjadi walaupun aku tidak mempercayainya. Yudi bergegas membukakan pintu mobil untukku. Semua orang berdiri sewaktu aku keluar dari mobil. Serta merta mas Galih, kakak iparku dan mas Ilham kakak kandungku menyambut dan memelukku dengan erat. Tangis kami meledak.

“Dewi telah pergi jam satu malam tadi. Ikhlaskan dia, dik Irwan”, lirih suara mas Galih di sela isak tangis kami. Lemaslah seluruh persendian tubuhku. Kedua kaki kokohku seolah tak mampu lagi menyangga tubuhku. Pandangan mataku mengabur. Antara sadar dan tidak mulutku berulang-ulang mengucap istighfar. Namun tiba-tiba semua di depanku menjadi gumpalan-gumpalan abu-abu yang terus menghitam dan gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa lagi. Hitam, pekat.